Menumbuhkan Daya Lenting sebagai Ibu

Kehadiran ibu memegang peran sentral di dalam pertumbuhan jiwa yang sehat. Namun demikian, interaksi keluarga yang makin minim di tengah gempuran internet, isu-isu dalam pernikahan, atau tantangan hidup karena situasi yang kurang menguntungkan, sering menjadi kendala bagi ibu untuk berfungsi optimal. Ketika ibu merasa sedih berkelanjutan, mudah cemas, marah, atau merasakan nyeri di tubuh, sangat mungkin itu tanda sudah saatnya perlu mengelola tekanan hidup dengan lebih bijak. Lalu, bagaimana caranya agar ibu tetap bisa beradaptasi dengan segala tuntutan yang ada? Di sini pentingnya daya lenting bagi seorang Ibu.

Secara sederhana, daya lenting atau resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bisa bertumbuh atau bangkit di tengah masalah yang menghadang. Ibu yang memiliki daya lenting artinya bisa beradaptasi, bangkit, dan tumbuh meskipun ada banyak masalah yang terjadi di dalamnya. Lalu pertanyaannya, bagaimana caranya untuk merawat daya lenting ini? Yuk, kita simak:

Pertama, penting bagi ibu untuk mengenal, menerima, dan berdamai dengan diri sendiri sebagai individu. Sebelum menjadi ibu, mungkin ada banyak pengalaman hidup, baik positif atau negative, yang membuat kita menjadi seperti yang sekarang. Kita perlu mengenali dan menerima keduanya secara proporsional. Mengapa? Karena sering tanpa sadar luka batin yang kita miliki akan berdampak pada bagaimana pola pengasuhan dan perlakuan kepada anak. Namun bila kita menyadari ada kesalahan, trauma, atau pengalaman buruk yang pernah kita alami dan tidak ingin kita ulangi lagi, maka kita perlu menerimanya sebagai pengalaman dan pelajaran untuk bisa memperbaiki di masa depan. Menerima di sini termasuk menerima kondisi anak maupun keluarga kita miliki saat ini. Dengan penerimaan yang baik, kita tidak hanya terpaku pada kekurangan, namun juga tidak melupakan bahwa mereka punya kelebihan. 

Kedua, ibu perlu mengelola emosinya secara sehat. Di sini pentingnya peka terhadap kondisi emosi yang kita rasakan, kapan sedang baik, atau kapan sedang buruk. Jika kita bisa mengenalinya, maka kitapun bisa mengelolanya dengan lebih baik. Misalnya, saat marah, sebelum melampiaskan kepada anak, kita ubah posisi duduk atau berdiri, tarik nafas panjang, atau berwudhu. Atau saat kita sedih dan kecewa, kita berbagi perasaan itu dengan bercerita atau mencari dukungan orang lain. Kadang mengelola emosi juga bisa dilakukan dengan mengubah sudut pandang terhadap suatu masalah. Intinya, setiap emosi perlu disalurkan dengan cara yang berbeda dan konstruktif. 

Ketiga, penting untuk selalu memiliki sistem dukungan yang suportif, termasuk dari sisi spiritual. Ketika masalah terus datang dan kita tidak berdaya melakukan apa pun, maka sandaran kepada Allah, dan orang-orang yang kita percaya, akan menjadi penguat. 

Setiap manusia akan menghadapi berbagai masalah dalam hidup. Tugas kita adalah terus belajar dan bertumbuh dari tantangan ini. Tetap semangat, ibu!

Oleh: Ratih Arruum Listiyandini, M.Psi., Psikolog*)

*) Tentang Penulis

Sis Arruum adalah seorang psikolog dan dosen psikologi di Universitas YARSI Jakarta. Ibu dengan satu anak. Sekarang sedang melanjutkan studi S3 Psikologi Klinis di UNSW Sydney.