Ketan Mangga a la Thailand

Resep kudapan kiriman sis Hasrat berikut ini praktis dibuat dan sedap rasanya. Bahan-bahannya pun mudah didapat. Sajikan sebagai hidangan pelengkap berbuka puasa untuk keluarga. Awas ketagihan! -😊

BAHAN

Bahan Ketan:

·       2 buah mangga matang

·       2 cup beras ketan

·       4 cup santan

·       1 lembar daun pandan

·       ½ sendok teh garam

·       Wijen sangrai secukupnya

Bahan Fla:

·       1 cup santan

·       ¼ sendok teh garam

·       1 sendok teh maizena

·       ¼ sendok teh gula pasir

CARA MEMBUAT

1.     Cuci bersih beras ketan, kemudian rendam selama kurang lebih 2 jam. 

 

2.     Campur beras ketan, santan, garam dan daun pandan, aduk rata. Masak dengan menggunakan rice cooker sampai matang (seperti menanak nasi biasa). 

 

3.     Sementara menunggu ketan matang, siapkan bahan fla. Larutkan maizena dengan sedikit air, sisihkan. Campur santan, gula dan garam kemudian masak sampai mendidih sambil diaduk-aduk, masukkan larutan maizena. Masak dan aduk sampai kental. Matikan kompor. 

 

4.     Tata ketan dan mangga pada piring saji, beri fla diatasnya dan taburi wijen sangrai. Ketan mangga Thailand siap dinikmati.

 

Untuk: 3 porsi

Pentingnya Mencatat dalam Majelis Ilmu

Oleh: Meilina Widyawati

Sering kita mendengar kalimat “Ikatlah ilmu dengan menulisnya”. Kalimat mulia ini adalah sabda Rasulullah Muhammad (SAW). Dari ‘Abdullah bin ‘Amr (RA) dan Anas bin Malik (RA), Rasulullah (SAW) bersabda:

“Ikatlah ilmu dengan dengan menulisnya” (dalam redaksi yang lain: “jagalah ilmu dengan menulisnya”). Qayyidul ‘ilma berarti kuatkan, hafalkan dan jaga jangan sampai lepas.

Hadist ini penting untuk kita amalkan dalam majelis ilmu, sebab di antara adab majelis imu adalah mencatat ilmu yang didapat. Mengapa mencatat penting dan bermanfat?

Pentingnya Mencatat dalam Islam: 1. Perintah Allah dalam Al-Qur’an:

QS Al-Alaq: 4

ٱَّلِذىعََّلمَ ِبَٱْلقَلِمَ

Artinya: “Yang telah mengajarkan dengan pena.”

Selain perintah agar kita “membaca” tanda-tanda kebesaran-Nya, Allah juga mengajarkan manusia menulis dengan perantaraan pena atau alat tulis lain. Dengan dijadikan dua hal ini sebagai perintah dalam ayat-ayat pertama yang diturunkan, Islam menekankan pentingnya aktivitas membaca dan menulis bagi muslimin.

QS Al Baqarah: 282

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”

Allah SWT Maha Mengetahui bahwa manusia punya keterbatasan akal dan pikiran untuk mengingat, sehingga Allah SWT memerintahkan agar kita mencatat. Bisa kita bayangkan seandainya 2 orang yang berhutang-piutang menjadi berselisih hanya karena masing-masing punya daya ingat yang berbeda tentang transaksi mereka, atau malah mungkin lupa dengan hutangnya piutangnya. Dengan adanya catatan yang diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak, in syaa Allah perselisihan bisa dicegah.

2. Hadist Rasul

Dari Abu Hurairah (RA) berkata: Rasulullah (SAW) bersabda: "Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya." (HR Muslim). Ilmu yang bermanfaat di sini bisa berarti ilmu yang diajarkan, baik itu melalui lisan ataupun tulisan.

3. Ajaran Rasul dalam Pengumpulan dan Penulisan Al-Qur’an

Dari Shirah Nabawi kita belajar tentang sejarah pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi; baik itu pengumpulan dalam konteks hafalan (hafadzahu) ataupun dalam konteks penulisan (kitabuhu kullihi). Ketika wahyu turun, Rasulullah (SAW) memerintahkan para sahabatnya untuk menghapal dan menuliskan. Penulisan Al-Qur’an masa itu masih tersebar di antara para sahabat, dan urutannya tidak sesuai nuzulnya. Setiap ayat dituliskan di tempat penulisan yang sesuai dengan instruksi Nabi (SAW) atas petunjuk Allah SWT.

  1. Teladan Khulafaur Rasyidin dalam pengumpulan, penulisan dan pembukuan Al-Qur’an

    Dikarenakan gugurnya 70 orang penghafal Qur’an dalam perang Yamamah untuk memerangi orang-orang Islam yang murtad, Umar (RA) mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar (RA) untuk mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an karena khawatir musnah. Setelah melalui proses yang cukup panjang dan atas ijin Allah Ta’ala, akhirnya terwujudlah mushaf Al-Qur’an beserta salinannya pada masa khalifah Ustman (RA).

  2. Kisah Pengumpulan dan Pencatatan Hadist

    Melalui kitab-kitab hadist yang ditulis oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Da’ud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad An-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah, generasi-generai setelah tabi’un tabi’in mengetahui dan mempelajari bagaimana Rasulullah (SAW) mengajarkan Islam melalui perkataan dan perbuatan beliau; padahal para penulis hadist tersebut hidup di masa ratusan tahun setelah hijrah (contoh: Imam Bukhari lahir pada tahun 194 H, Imam Ibnu Majah lahir pada tahun 209 H).

    Untuk menuliskan sebuah hadist, para penulis tersebut melakukan perjalanan dengan mendatangi para perawinya, termasuk ke wilayah/negara lain. Mereka mendedikasikan hidupnya untuk mengumpulkan dan mencatat hadist, hingga terkumpul sebanyak ribuan bahkan puluhan ribu. Tanpa ikhtiar mereka untuk melakukan perjalanan, menemui para perawi, mengumpulkan, menyeleksi kesahihannya, dan kemudian menuliskan, mungkin kita tidak berkesempatan mendapatkan ajaran Rasulullah (SAW) seperti saat ini.

  3. Kisah Ulama-Ulama Penulis Kitab

    Dari kisah-kisah ulama terdahulu seperti Imam Syafi’i, Ibnu Jarir At Thabari, Imam Nawawi dan lain-lainnya, kita mengetahui bagaimana mereka sibuk menulis kitab di sepanjang hayat mereka.

    • Imam Syafi'i (wafat pada tahun 204 H) membagi waktunya setiap malam menjadi tiga bagian: sepertiga yang pertama menulis buku, sepertiga yang kedua untuk shalat tahajjud, dan sepertiga yang ketiga untuk beristirahat.

    • Ibnu Jarir At Thabari (wafat pada usia 86 tahun, pada tahun 310 H) mewariskan karya ilmiahnya dalam berbagai disiplin ilmu keislaman: tafsir, tarikh, fikih dan lainnya sebanyak kurang lebih 351,000 halaman.

    • Imam Nawawi (wafat pada tahun 676 H), yang mewariskan karya-karya ilmiah yang sangat penting dalam setiap disiplin ilmu ke-Islam-an, mengisahkan ikhtiarnya dalam menulis karya-karya itu: "Aku makan hanya sekali sehari, setelah shalat Isya. Minum sekali di waktu sahur". Muridnya bertanya tentang jadwal tidurnya, beliau menjawab, "Aku tidur bila mata sudah tidak dapat ditahan, aku menyandarkan kepala ke tumpukan buku-buku, beberapa saat kemudian terjaga dan meneruskan tulisan" (Ibnu Syuhbah, Tabaqatussyafiiyyin). Beliau bahkan belum sempat menikah hingga wafat, karena mendedikasikan waktunya untuk menulis kitab.

Manfaat dari mencatat:

  1. Mendapatkan Kemudahan, Keberkahan dan Keutamaan

    Dari Abu Darda, Rasulullah (SAW) bersabda, "Siapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Orang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi sampai ikan di air. Keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Para ulama itu pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham. Yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Siapa yang mengambil ilmu itu, maka telah mendapatkan bagian yang paling banyak."

    Aktivitas menyimak dan mencatat adalah termasuk adab dari menuntut ilmu. Mengajarkan kebaikan dapat dilakukan dengan lisan ataupun tulisan.

  2. Mencegah Lupa

    Dengan mencatat ilmu dalam majelis, kita berusaha merangkum apa yang didengar sehingga terhindar dari lupa, sebab daya ingat manusia lemah dan terbatas.

  3. Mengikat/menjaga ilmu

    Aktivitas mencatat membuat kita menjadi lebih fokus dalam majelis ilmu; tak mudah ter-distracted dengan hal-hal lain (misal HP) dan membuat ingatan lebih kokoh. Ingatan yang kokoh terhadap ilmu akan menjadi dasar amalan, ataupun menjadi bahan pengajaran, sehingga kita mendapat keberkahan dari ilmu tersebut di dunia dan akhirat, in syaa Allah.

  4. Menyimpan/mengabadikan Ilmu

    Ilmu yang kita dapatkan dalam majelis lambat laun akan lenyap dikarenakan waktu, kemampuan otak manusia, usia, atau karena peristiwa lainnya. Dengan mencatat, berarti kita menyimpan ilmu tersebut relatif lebih lama (lasts longer) yang bisa dilihat, dibaca dan dipelajari lagi sewaktu-waktu.

  5. Mewariskan Ilmu

    Sepertinya halnya harta, ilmu pun bisa diwariskan. Tetapi berbeda dengan harta, ilmu adalah warisan yang tak lekang oleh waktu. Hal ini dibuktikan dengan penulisan hadist dan kitab-kitab oleh ulama-ulama terdahulu.

  6. Mengembangkan/menyebarkan Pengetahuan

    Sejarah mencatat berkat ilmu pengetahuan yang ditemukan, diteliti dan ditulis oleh ilmuwan-ilmuwan muslim, maka dunia barat yang sebelumnya mengalami masa kegelapan, akhirnya memasuki masa Renaissance (pembaharuan/kelahiran kembali peradaban) pada abad ke 14-17.

  7. Memperpanjang Umur Manfaat vs Umur Biologis

    Umur biologis manusia saat ini rata-rata 60 tahun. Selain melalui shadaqah jariyah dan anak shaleh, kita bisa memperpanjang umur manfaat kita melalui tulisan berupa ilmu yang bermanfaat, seperti yang dicontohkan oleh para Imam penulis hadist dan para ulama penulis kitab. Ilmu yang mereka tulis kemanfaatannya jauh melampaui umur biologis mereka, bahkan hingga ribuan tahun setelah mereka wafat.

Alhamdulillah, in syaa Allah banyak manfaat yang kita dapatkan dari mencatat ilmu dalam kajian. Dengan mencatat, berarti kita berikhtiar menaati perintah Allah Ta’ala, meneladani shirah Nabi dan mencontoh kisah- kisah ulama terdahulu. Semoga barakah. []

Dirangkum dari berbagai sumber. (Tulisan ini telah diedit dari kultum yang dibacakan pada halaqah Az Zahra, September 2022).

Keberkahan dari Air dan Kurma Di Bulan Ramadhan

Jika ada dua benda yang paling dicari oleh muslimin di penghujung hari selama bulan

Ramadhan ini, semestinya itu adalah air dan kurma. Bukan hanya menjadi pelepas lapar dan

dahaga setelah seharian berpuasa, namun terkandung keberkahan dari keduanya.

Rasulullah Muhammad (Saw) biasa berbuka puasa sebelum shalat dengan ruthab (kurma

basah), jika tidak ada ruthab maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), dan jika

tidak ada tamr maka beliau meminum seteguk air (HR. Abu Dawud).

Jika berbuka dengan air dan kurma untuk mengikuti sunnah beliau mendatangkan

keberkahan, terlebih bagi yang berinfak dengan keduanya kepada yang sedang berpuasa.

Rasulullah Muhammad (Saw) bersabda, “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka

baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang

yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi).

Dan jika berinfak dengan air dan kurma memberikan balasan setara dengan pahala orang

yang sedang berpuasa, maka bagaimana halnya jika berinfak dengan yang lebih daripada

itu? Allah SWT telah menjanjikan kepada hamba-Nya yang ikhlas berinfak berupa pahala

berlipat ganda sebesar sepuluh hingga tujuh ratus kali (HR. Muslim), dan makin

dilipatgandakan di bulan mulia Ramadhan ini. Terkhusus puasa, amalan ini adalah untuk

Allah ta’ala, dan Dia sendiri yang akan memberikan pahalanya (HR. Bukhari-Muslim). Tanpa

disebutkan kadar bilangan, sebab hanya Allah ta’ala yang Maha Mengetahui kadar pahala

dan pelipatan kebaikannya.

Maka jika Allah Sang Maha Pemilik alam semesta ini sangat pemurah dalam memberi

balasan, mengapa kita malah sering menahan-nahan harta yang akan disedekahkan?

Sedangkan kita tak punya hak kepemilikan, sebab semuanya itu hanyalah titipan.

Ramadhan sudah di tengah bulan. Mari raih kemuliaannya dengan sebanyak-banyaknya

amalan, lalu sandarkan harapan hanya kepada-Nya tentang balasan.

“Rabbanaa taqabbal minnaa. Innaka antas sami‘ul ‘aliim.” Ya Tuhan kami, terimalah (amal)

dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.[]

Sampaikan Kami ke Bulan Ramadhan

Bagaimana jika dikabarkan bahwa akan ada tamu istimewa yang berkunjung ke rumah kita? Tentu kita akan bersuka cita menerima kedatangannya, mempersiapkan penyambutan untuknya, memasakkan makanan-makanan lezat, memastikan rumah kita rapi dan teratur, menyiapkan anak-anak agar bersikap baik dan sopan kepadanya, memuliakannya, membuatnya betah di rumah kita, dan berbagai hal yang pada intinya memberinya sambutan kita yang terbaik. Terlebih, jika tamu istimewa tersebut membawa bingkisan berupa hadiah mahal yang kita inginkan sejak lama. Tentunya kita akan sangat mengharap kedatangannya, sekaligus akan mencemaskan bila semisal kita terhalang untuk bertemu dengannya. 

Saudariku yang dirahmati Allah SWT,

Kurang dari sebulan lagi, in syaa Allah kita akan mendapat kunjungan tamu istimewa: bulan Ramadhan 1445H, bulan istimewa yang di dalamnya Allah turunkan Al-Qur’an, petunjuk hidup kita agar selamat di dunia dan akhirat; bulan yang di dalam sepuluh hari terakhirnya memiliki malam istimewa, lailatul qadar, yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah telah wajibkan atas orang-orang sebelum kita untuk berpuasa, agar menjadi orang yang bertaqwa, mendapat ampunan dan pahala yang besar dari-Nya; bulan dimana dikabulkannya doa-doa, dibukanya pintu-pintu surga dan ditutupnya pintu-pintu neraka; bulan mulia yang penuh berkah, rahmat dan ampunan Allah SWT pada siang dan malamnya, yang semua amal ibadah akan dilipatgandakan balasannya. Sungguh, ini adalah bulan yang sangat ditunggu-tunggu oleh muslimin di segala penjuru.

Kurang dari sebulan lagi, saudariku,

Mari kita tanyakan kepada diri: apakah kita benar-benar merindukan dan menunggu-nunggunya? Sudahkah kita persiapkan diri dan keluarga kita untuk menyambutnya? Amalan terbaik apa yang akan kita lakukan untuk mengisinya? Dan, apakah Allah masih akan memberi kita umur dan kesempatan hingga bulan depan, untuk bertemu lagi dengan Ramadhan..? 

“Allaahumma ballighna Ramadhan.” Ya Allah, sampaikan kami ke bulan Ramadhan. []

Melindungi Diri dari Sifat Ima’ah

Dari Kajian Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Imma’ah berasal dari kata ma’a (bersama), yang berarti: sikap dimana orang tidak punya prinsip, dan hanya ikut kesana kemari sesuai dengan pandangan/nilai yang berlaku. Kata lain yang sesuai adalah latah atau mencla mencle (Bahasa Jawa). Sikap ini sangat tidak dibenarkan dalam Islam. Rasulullah (Saw) bersabda: “Jangan kalian menjadi imma’ah! Kalian mengatakan: ‘Jika manusia berbuat baik, kami pun akan berbuat baik; jika mereka berbuat kezaliman, kami juga akan berbuat zalim.’ Akan tetapi, kokohkan diri kalian. Jika manusia berbuat baik, kalian juga berbuat baik, jika mereka berbuat buruk, maka jangan kalian berbuat zalim.” (HR Tirmidzi, hadist hasan).

Dalam Qur’an (QS. An-Nisa: 143) disebutkan tentang karakter Muzabzab: “Mereka dalam keadaan ragu antara yang demikian (iman atau kafir), tidak termasuk kepada golongan ini (orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang kafir). Barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk baginya.” Ayat ini menerangkan tentang sikap ragu-ragu dan tidak punya prinsip, sehingga juga termasuk dalam kategori Imma’ah.

Pembahasan masalah imma’ah berkaitan dengan masalah yang tegas/terang kedudukannya, yaitu masalah pokok/dasar agama, dan yang sudah yang jelas panduan/dalilnya, serta berdasar kesepakatan ulama; bukan masalah yang masih samar atau yang memiliki berbagai sudut pandang. Misal dalam hal aqidah dan syari’at, maka kokohkan sikap kita, ambil sikap, berpihaklah, jadilah pembela; dan jangan imma’ah alias ikut sana-sini. Tetapi dalam perkara-perkara cabang dan bukan yang prinsip, hendaknya kita membuka ruang sesuai kondisi terhadap pandangan-pandangan yang berbeda.

Gambaran keteguhan atas prinsip diajarkan oleh Rasulullah (Saw) sewaktu diminta oleh kaum Qurays untuk berhenti berdakwah dengan imbalan/iming-iming yang sangat besar. Beliau bersabda: “Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah Yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku atau aku binasa karenanya.”

Juga keteguhan mantan para penyihir yang telah beriman di hadapan Fir’aun, seperti dikisahkan dalam QS. Taha: 71-73. Fir’aun marah karena mereka beriman kepada Tuhannya Nabi Musa tanpa ijinnya, dan ia mengancam akan menyiksa mereka, namun mereka tetap teguh beriman.

Juga kisah-kisah lain tentang keteguhan berprinsip, seperti dalam kisah Ashabul ukhdud, kisah Bilal, kisah Abu Bakar tentang Isra’ Mi’raj, kisah Saad bin Abi Waqas, kisah Omar Mukhtar, dll.

Selain berarti tidak berprinsip terhadap hal-hal yang pokok, imma’ah juga berarti tanda kemunafikan (QS. Al-Baqarah: 14): “Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata: “Kami telah beriman”. Tetapi apabila mereka kembali pada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.” Semoga kita dijauhkan dari sifat munafik yang tercela.

Imma’ah terjadi bukan tanpa sebab. Di antara sebab-sebab Imma’ah adalah: lemahnya keyakinan, berorientasi pada syahwat, lemah pemahaman, tidak kontinyu dalam pembinaaan, terpedaya dengan nilai materialisme. Bagaimana agar kita tidak memiliki penyakit imma’ah? Perkuat keyakinan kepada Allah SWT dan ajarannya, hendaknya kita berorientasi pada akhirat, tingkatkan pemahaman, terus membina diri dan memahami hakekat dunia yang fana.[]

FIQH THAHARAH

Dari Kajian Ustadzah Nur Hamidah, Lc., M.Ag

22 JUNE 2022

Bahasan pertama tentang fiqh thaharah adalah mengenali beberapa jenis najis, yaitu: 1) Najis yang cukup dicuci tanpa membatalkan wudhu (darah luka, bangkai, nanah, muntah); 2) Najis yang harus disucikan dengan istinja dan berwudhu (darah istihadoh, madzidan wadi); dan 3) Najis yang harus disucikan dengan mandi janabah (haid, nifas, mani). 

Dalam kaitannya dengan ummahat, najis yang berasal dari tubuh khususnya organ reproduksi wanita bisa berupa: 1) Cairan (wadi, madzi, mani, air seni), dan 2) Darah (haidh, nifas dan istihadoh). Wadi adalah cairan keputihan; madzi adalah cairan putih yang keluar dari farj di saat terangsang syahwat; dan mani adalah cairan putih yang keluar dari farj saat senggama atau saat bangun tidur, baik teringat mimpinya atau tidak. Haidh adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang sudah baligh, dan lamanya berkisar 1 s/d 15 hari atau tergantung kebiasaan; nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan atau keguguran, dan lamanya berkisar 1 s/d 40-60 hari. Sebagai ummahat, kita mesti mencermati apakah darah yang keluar dari farj merupakan darah yang sehat (yang keluar pada masa haid atau setelah melahirkan), atau darah yang dikarenakan penyakit reproduksi (yaitu darah istihadoh). Sebab hal ini menentukan jenis najisnya dan cara mensucikan. Wadi, madzi, air seni dan darah istihadoh adalah najis ringan; sedangkan mani, haidh dan nifas adalah najis berat.

Bahasan kedua tentang fiqh thaharah adalah tentang cara mensucikan. Untuk najis yang berasal dari luar tubuh seperti: najis di lantai, maka disiram dengan air; najis di tanah, maka dibersihkan dengan diambil najisnya dan dikeringkan oleh matahari; najis di tempat tidur, maka diambil najisnya lalu dicuci dengan air; najis di pakaian, maka dicuci dengan air; dan najis di sepatu, maka diambil kotorannya lalu disiram air atau digosokkan ke tanah. Sedangkan untuk najis yang berasal dari tubuh, cara mensucikannya ada 2 macam, yaitu: 1) Mensucikan dengan istinja lalu berwudhu (untuk wadi, madzi, air seni/kotoran/angin, dan darah istihadoh), dan 2) Mensucikan dengan mandi (untuk mani, haidh, nifas dan junub). Tanda suci dari darah haidh atau nifas adalah jika cairan yang keluar sudah tampak bersih seputih kapas (HR. Darimi 848). 

Bahasan ketiga tentang fiqh thaharah adalah tentang dispensasi bersuci; yaitu berupa: 1) Tayamum, 2) Mengusap jabirah/perban; 3) Mengusap sepatu/sarung kaki. Dalil tentang tayamum adalah QS 4:63, bahwa: “….. bumi dijadikan untukku sebagai masjid dan alat bersuci….”. Tayamum dibolehkan jika ada udzur berupa: kesulitan air, tidak kuat menggunakan air, khawatir dengan keselamatan harta dan diri untuk mendapatkan air, atau karena cuaca yang sangat dingin. Jika seseorang udzur karena sakit sehingga ada anggota badannya diperban, maka bagian yang diperban tersebut hukumnya wajib dibasuh sebagai pengganti wudhu atau mandi. Dan jika seseorang sedang safar, maka baginya keringanan untuk mengusap sepatu/sarung kaki saat berwudhu, yang berlaku selama 3 hari 3 malam.[]

FIQH QUR’BAN

Dari Kajian Ustadzah Arina Amir, Lc., MA

8 JUNE 2022

Pengertian qurban menurut fiqh adalah perbuatan menyembelih hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah pada hari raya Idul Adha (10-Dzulhijjah) dan hari Tasyriq (11,12,13 Dzulhijjah). Ibadah qurban disyari’atkan pada tahun ke-2 Hijriah, bersamaan dengan turunnya perintah berzakat dan shalat dua hari raya.

Dalil syari’at qurban adalah Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’ (kesepakatan) ulama. Dalam QS Al-Kautsar 2, Allah memerintahkan mendirikan shalat dan melaksanakan qurban. Sedangkan dalam QS Al-Hajj 36, Allah memerintahkan menyembelih unta, memakan sebagian dagingnya dan memberikan daging lainnya kepada orang-orang yang meminta dan tidak meminta. Atas dalil ini para ulama berbeda pendapat tentang hukum qurban. Menurut Imam Hanafi: hukumnya wajib, sedangkan menurut jumhur ulama: sunnah mu’akkadah.

Rasulullah bersabda: “Tidak ada suatu amalan yang paling dicintai oleh Allah dari bani Adam ketika hari raya Idul Adha selain menyembelih hewan qurban. Sesungguhnya hewan itu akan datang pada hari kiamat (sebagai saksi) dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sesungguhnya darah hewan qurban telah terletak di suatu tempat di sisi Allah sebelum mengalir di tanah. Karena itu, baikkanlah jiwa kalian dengan penyembelihan itu.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah & Hakim). Di hadist mutaffaq alaih: “Nabi Muhammad (Saw) ber-qurban dengan dua ekor domba yang bercampur antara warna putih dan hitam. Aku melihat beliau meletakkan kaki beliau di leher hewan tersebut, kemudian membaca basmalah dan bertakbir.” (HR. Bukhari). Ijma’ ulama bersepakat tentang syari’at qurban, tetapi berbeda tentang hukumnya, seperti yang disebutkan di atas.

Hikmah disyari’atkan ber-qurban adalah: 1) Sebagai ungkapan syukur kepada Allah (SWT) atas anugerah nikmat kehidupan; 2) Agar kita diampuni dari dosa-dosa yang telah lalu; 3) Menghidupkan peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail (QS As-Saffat 102).

Syarat orang yang ber-qurban adalah: 1) Beragama Islam; 2) Baliqh; 3) Berakal; 4) Memiliki kemampuan. Kemampuan di sini adalah memiliki harta seharga binatang qurban atau lebih dari kebutuhan pokok pribadi dan keluarga yang menjadi tanggungannya di hari Idul Adha dan hari Tasyriq. Karena pentingnya ber-qurban, Imam Hambali dan Imam Maliki menganjurkan untuk ber-qurban sekalipun harus berhutang; namun dengan syarat: punya kemampuan melunasi hutangnya tersebut. 

Sedangkan syarat hewan qurban adalah: 1) Hewan ternak dan biasa dijadikan ternak, misalnya unta, sapi, kerbau atau kambing; 2) Selamat dari segala cacat yang mengurangi daging atau kesehatannya, yaitu bebas dari cacat buta, sakit, pincang, dan kurus/lemah; 3) Cukup umur menurut jenis hewannya. Untuk domba > 6 bln, kambing > 1 th, sapi > 2 th dan unta > 5 th; 4) Hewan tersebut milik orang yg ber-qurban; 5) Hewannya masih hidup ketika disembelih; 6) Hilangnya nyawa hewan tersebut adalah karena disembelih, bukan karena sebab yang lain (misal dipukul atau dibanting); 7) Dilakukan pada hari Idul Adha & hari2 Tasyriq; 8) Hewan tersebut disembelih oleh orang muslim.

Adapun waktu ber-qurban adalah setelah shalat Idul Adha (10 Dzulhijjah) hingga menjelang maghrib di hari terakhir Tasyriq (13 Dzulhijjah). 

Cara dan adab menyembelih hewan Qurban: 1) Menghadapkan hewan ke arah kiblat saat disembelih; 2) Menyembelih cara yang baik, yaitu menggunakan pisau tajam, dan menyembelih secara cepat dan kuat; 3) Melakukan nahr untuk unta dalam keadaan berdiri dan kaki dalam keadaan terikat. Untuk hewan selain unta: lambung kiri diletakkan di bagian bawah, atau sebaliknya jika kesulitan; 4) Memutus tenggorokan, kerongkongan dan pembuluh darah besar di leher; 5) Tidak menampakkan pisau kepada hewan sembelihan pada saat mengasah; 6) Bertakbir setelah membaca basmalah; 7) Setelah basmalah dan takbir, menyebutkan nama orang yang ber-qurban dan berdoa kepada Allah agar menerima amalan tesebut.[]

ADAB BERSOSIAL MEDIA

Dari Kajian Ustdzah Nur Hamidah, Lc, M.Ag

Semua aspek kehidupan di jaman serba digital saat ini telah tersedia pada gadget, sehingga menyebabkan orang menjadi kecanduan digital. Dari bangun tidur hingga sebelum tidur, gadget berperan penting dalam kehidupan kita. Padahal gadget adalah pisau bermata dua yang bisa membawa manfaat atau mudharat. Contoh manfaat adalah: menjadi sarana dakwah, menginspirasi ummat pada kebaikan, menjadikan semakin dekat dengan Al-Qur’an dan Sunnah (melalui applikasi digital), dsb. Sedangkan contoh mudharat adalah: kemudahan mengakses konten termasuk pornografi, menyebabkan penggunanya bermaksiat, dsb. Kontrol dari 2 aspek ini tergantung kepada kita sebagai pengguna, sehingga perlu bersikap antisipatif dan bijaksana dalam mengelola sosial media yang kita miliki. 

Tulisan yang kita posting di media sosial adalah analog dengan perkataan yang keluar dari lisan kita. Komentar-komentar yang kita posting di media sosial akan menentukan nasib kita dan anak-anak kita di masa depan. 

Al-Qur’an dan Sunnah mengajarkan pentingnya menjaga lisan, sebab: 1) Terdapat malaikat dari 6 penjuru yang akan mencatat dan mengaminkan perkataan kita, termasuk tulisan; 2) Identitas agama seseorang ada pada lisannya; 3) Menjaga lisan adalah manifestasi iman seseorang pada Allah dan hari Akhir; 4) Menjaga lisan mendapat jaminan surga; 5) Peradaban masyarakat tergantung pada lisan mereka, khususnya wanita sebagai tiang negara; 6) Lisan berpotensi berzina melalui bicara; 7) Lisan yang tidak terjaga bisa mengakibatkan fitnah yang efeknya setajam tebasan pedang, dan 8) Orang yang menyebarkan berita palsu mengakibatkan terlemparnya dia ke neraka sejauh antara jarak ke Timur.

Diperlukan sikap bijaksana dalam mengelola sosial media, termasuk dalam memposting tulisan dan meng-share gambar atau berita, dan harus mengacu pada cerdas syariat, cerdas UU terikat dan cerdas martabat. Hendaknya kita mencermati lebih dulu benar/tidaknya berita yang akan kita share, sehingga kita menjadi tahu bagaimana hukumnya; apakah jatuhnya menjadi wajib, mubah atau haram jika kita sebarkan. Selain itu pengguna sosial media hendaknya mematuhi adab, yaitu bersikap cerdas dan selektif dalam menerima berita; tidak menyimpulkan berita berdasar persepsi sendiri; tidak berghibah; tidak memposting konten asusila, hoax dan provokasi; dan waspada serta protektif terhadap penyakit ‘ain.[]

Menjaga Kelembaban Kulit Wajah dengan Skin Care yang “All Out” di Saat Berpuasa

Oleh: Meilina Widyawati




Sudah bukan rahasia bahwa hidrasi dan istirahat yang cukup, gizi yang seimbang dan olah raga yang teratur sangat berpengaruh pada kesehatan tubuh, termasuk kesehatan kulit. Kulit wajah yang sehat memberi tampilan yang cerah dan berseri, alias glowing. Selain faktor-faktor tersebut, yang juga penting untuk dilakukan adalah menjaga kelembaban kulit wajah secara topikal (pengolesan area setempat) dengan produk skin care yang tepat. Kulit yang terjaga lembab menjadikan wajah tampak lebih muda dan segar, dibandingkan wajah yang kusam dan kuyu karena hilangnya kelembaban. Terlebih saat ini Australia (dan negara-negara di belahan lain dunia) sedang memasuki musim gugur. Sebagian muslimin di negeri ini menjalani ibadah puasa Ramadhan dengan cuaca yang lebih dingin dari sebelumnya. Bagaimana menjaga kelembaban kulit wajah ketika berpuasa di saat cuaca dingin dengan skin care yang tepat, akan kita bahas berikut ini.



TEWL

Sebelum membahas tentang skin care, terlebih dulu perlu kita ketahui tentang istilah ini:  Transepidermal Water Loss (TEWL); adalah fenomena hilangnya molekul air dari tubuh melewati lapisan epidermis kulit menuju lingkungan sekitar (external environment) melalui proses penguapan. TEWL terjadi akibat gradien dari tekanan uap air di lapisan epidermis dan di lingkungan sekitar; dan sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara. 

Saat kelembaban udara berkisar moderat, penguapan molekul air dari lapisan epidermis biasanya berlangsung lambat, dan metabolisme tubuh mampu segera mengatasi kehilangan tersebut. Namun di saat cuaca dingin seperti saat ini, suhu udara yang rendah mengakibatkan kelembaban udara rendah; sehingga meningkatkan laju TEWL dan menyebabkan lapisan epidermis kulit kehilangan kelembaban. Semakin rendah suhu dan kelembaban udara, kulit semakin berpotensi menjadi kering. Ini sebabnya kulit kita cenderung menjadi lebih kering di saat winter. 

Apabila laju TEWL cukup tinggi sehingga kehilangan molekul air ini tidak bisa dikompensasi segera oleh tubuh (misalnya saat berpuasa atau karena sebab lain), kulit akan mengalami dehidrasi dan menjadi kering. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut tanpa pencegahan, problem kulit kering tersebut akan menyebabkan efek lebih lanjut berupa iritasi, kasar, gatal, bersisik ataupun pecah-pecah. Dari sisi estetik, kulit yang kering menyebabkan wajah tampak lebih tua, dikarenakan kerut-kerut yang tampak lebih jelas.



SKIN CARE YANG TEPAT

Telah disebutkan di atas bahwa skin care yang tepat bisa membantu mengatasi problem kulit kering. Seperti kita tahu banyak sekali jenis skin care yang beredar di pasaran saat ini. Di antara produk-produk skin care tersebut, beberapa memiliki kandungan air yang cukup tinggi (70-80%) yaitu serum, essence, toner, micellar water, moisturiser, night cream, body lotion, hydrating mask, dan sebagainya. Yang manakah? Dalam kaitannya dengan TEWL, perlu digarisbawahi bahwa tingginya kandungan air suatu produk skin care bukanlah kriteria tunggal dalam berfungsi memberi kelembaban dan mengatasi kulit kering. 

Seperti halnya kita memaksimalkan ibadah di bulan Ramadhan, skin care yang kita gunakan mesti maksimal pula dalam memberi kelembaban. Maksimal di sini ditinjau dari aspek cara kerjanya yang multi fungsi; yaitu tidak hanya memberi kelembaban dari kandungan air di dalamnya, namun juga melapisi permukaan kulit untuk memperlambat laju TEWL sehingga mencegah hilangnya kelembaban, dan sekaligus mampu menarik molekul uap air dari lingkungan sekitar ke permukaan kulit. Singkatnya: yang bekerja secara all out melembabkan kulit. Skin care yang dimaksudkan di sini adalah keluarga besar moisturiser; termasuk di dalamnya adalah day cream, night cream, body lotion dan eye cream. Mengapa moisturiser? Kita akan bahas berikut ini.

Di luar kadar air, mayoritas ingredients moisturiser bisa dikategorikan menjadi 3 jenis, yaitu:

  1. Humectant

Ingredients ini bekerja di lapisan epidermis dan berfungsi untuk menarik molekul air. Termasuk dalam jenis humectant adalah glycerin, hyaluronic acid, sodium PCA, senyawa sugar alcohol (contoh: sorbitol), senyawa-senyawa glycol (contoh: ethylene glycol, propylene glycol), dan sebagainya. 

Di saat kelembaban udara tinggi, humectant menarik molekul air dari lingkungan sekitar ke permukaan kulit sehingga tampak lembab. Namun di saat kelembaban udara rendah (termasuk di saat cuaca dingin), humectant justru menarik molekul air dari lapisan dalam kulit ke permukaan luar. Molekul air yang berada di permukaan ini rentan menguap dengan cepat. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan ingredients kedua yang bersifat occlusive.



  1. Occlusive

Ingredients ini bekerja di lapisan epidermis dan berfungsi sebagai sealant/barrier untuk memperlambat laju TEWL, sehingga mengurangi/mencegah penguapan molekul air dari permukaan kulit. Termasuk dalam jenis occlusive adalah lemak tumbuhan (contoh: cocoa butter, shea butter), wax dari binatang (contoh: beeswax, lanolin), wax dari nabati (contoh: carnauba wax), wax dari minyak bumi (contoh: paraffin wax), dan sebagainya.



  1. Emollient

Ingredients ini bekerja di stratum corneum (lapisan terluar dari epidermis) dan berfungsi sebagai pelumas untuk menjaga kelembutan dan kehalusan kulit. Termasuk dalam jenis emollient adalah minyak nabati (contoh: minyak jojoba), turunan dari minyak nabati (contoh: squalene), turunan minyak bumi (contoh: mineral oil), senyawa fatty acid ester (contoh: oleic acid), silicone (contoh: dimethicone), dan sebagainya.

Secara umum, moisturiser dikategorikan bagus jika memiliki ketiga fungsi ingredients ini dalam 1 produk; meski secara khusus, pemilihan jenis ingredients yang dipakai sebagai humectant, occlusive dan emollient serta ada/tidaknya active ingredients yang disertakan sangat menentukan kualitas produk. Namun satu hal penting yang perlu diingat dalam merawat kulit adalah: seberapapun bagus kualitas moisturiser, jika kita tidak menggunakannya secara teratur, maka fungsi dan hasilnya akan meaningless.

Nah, mari cermati apakah moisturiser yang kita gunakan sehari-hari sudah berfungsi secara all out? Silakan masing-masing mengeceknya. 

Happy self-caring your skin! 




 

Tentang Penulis

Sis Meilina Widyawati, biasa dipanggil Mei, adalah ibu dari seorang anak bujang dan punya hobi membaca, menulis, traveling dan camping. Owner dan founder dari ELENVI Skin Care (www.elenviskincare.com) ini memiliki background pendidikan di bidang Chemical Engineering, Personal Care Formulation, dan Organic Skin Care Formulation. Selain sebagai entrepreneur, sis Mei juga bekerja di bidang education services sebagai education counsellor; dan bisa dikontak via email: m.widyawati72@gmail.com

Ramadhan yang Lebih Baik, Bekal Hasil Tempaan Pandemik

Oleh: Aluyah Alaydrus *)

Apa yang berbeda antara Ramdhan kita sebelumnya dengan  Ramadhan kali ini? Dari sisi persiapan, kecuali jika kita mengalami keadaan khusus, seperti hamil atau melahirkan, maka bisa jadi  kita akan melakukan persiapan yang tidak jauh berbeda dengan Ramadhan sebelumnya.  Akan tetapi satu yang pasti berbeda adalah keadaan kita, hamba-hamba yang akan memasuki Ramadhan.

Tanpa terasa sudah 3 tahun kita berada dalam pandemi covid-19 dengan segala variannya. Berada pada keadaan kita sekarang, adalah hasil perjalanan dan tempaan istimewa yang mungkin hanya  dialami oleh generasi manusia di masa kita sepanjang  sejarah. Tiga tahun bukanlah waktu yang  singkat, dimana di sepanjang waktu tersebut, banyak lika-liku dan ups and downs kita jalani, yang kemudian menjadi modal kita memasuki Ramadhan kali ini. Kita menjadi manusia yang berbeda, dengan kualitas yang istimewa. Dan InsyaaAllah berbekal semua yang telah kita alami selama 3 tahun ini, akan menjadi modal input yang menghasilkan output Ramadhan, yaitu kualitas taqwa  yang lebih baik.

Paling tidak ada 5 kualitas istimewa yang kita miliki , hasil tempaan selama pandemik sebagai modal istimewa menghadapi Ramadhan kali ini:

  1. Survival Skill

Ditengah ketidak pastian keadaan selama beberapa tahun sejak pandemi covid-19 dengan berbagai variannya mulai merebak, dimana imbasnya bukan hanya pada kesehatan fisik kita, tapi juga kesehatan mental, ekonomi, sosial dan lain-lainnya. Kita tentu masih ingat saat kita berada dalam kondisi lock down total, berinteraksi dengan dunia luar melalui teknologi. Beberapa produk di pasaran menjadi terbatas bahkan sulit ditemui, serta sederet rangkaian peristiwa yang ternyata mampu kita hadapi. Berada di titik kita sekarang, tanpa sadar memberikan kita kualitas kemampuan bertahan. Kita juga ingat bagaimana kita harus mengadaptasi diri dari sisi ibadah. Berpuasa tanpa bisa ke masjid, bahkan sholat Idul Fitri di rumah. Itu semua membuktikan bahwa sesempit apapun keadaan, kita berusaha untuk bisa beribadah semaksimal yang kita bisa.  Kita survived, kita bertahan. Kualitas ini memberikan kita modal untuk lebih berkomitmen meningkatkan ibadah kita, amal shalih kita,  terlepas dari situasi yang kita miliki, termasuk Ramadhan di tahun ini.


  1. Daya Lenting (Resilience) yang Teruji

Kualitas ini memberikan kita lebih dari sekedar ketahanan, tapi kemampuan untuk pulih kembali dengan berbagai keadaan yang dihadapi, termasuk dalam kondisi covid. Dari satu varian ke varian lain, dari satu masa lock down ke lock down berikutnya. Ini semua memberikan kita daya lenting (resilience) yang jika kita bawa dalam spirit Ramadhan,  maka insyaaAllah,  akan membuat kita lebih tahan banting, memiliki sipirit menjadi pemenang menghadapi godaan-godaan selama Ramadhan.  Lebih fokus mengejar goals Ramadhan walaupun mungkin banyak tantangan.



  1. Siap Taat untuk Kebaikan

Selama pandemik berlangsung, secara berkala kita mengalami perubahan aturan pemerintah, restrictions atau pembatasan-pembatasan yang berlaku dari waktu ke waktu, berubah disesuaikan dengan keadaan. Dan selama rentang waktu tersebut, kita ikuti kebijakan-kebijakan tersebut karena pengetahuan dan kesadaran akan manfaat kebaikan yang akan ada dibaliknya. Jika kita membawa cara berfikir dan sikap yang sama terhadap aturan Islam, maka dalam menjalani Ramadhan ini, kita akan menjadi hamba-hamba yang siap berubah, hamba hamba yang siap taat, karena mengetahui dan meyakini bahwa Allah tidak akan memberikan peraturan apapun pada hamba-Nya kecuali untuk kebaikan kita.


  1. Ukhuwah

Banyak sekali benang-benang pengikat ukhuwah yang terjalin dan menguat selama pandemik. Empati pada saudara-saudara kita yang kehilangan anggota keluarganya, simpati dan bantuan kepada komunitas  yang terkena covid,  sampai pada penggalangan dana untuk membantu lilitan kesulitan ekonomi yang dialami banyak dari saudara-saudara kita yang kehilangan pekerjaan. Ramadhan adalah bulan ukhuwah, dan jika input ukhuwah kita memasuki Ramadhan sudah sedemikian indahnya, maka insyaaAllah kita pun optimis, dalam Ramadhan ini persaudaraan kita semakin rekat.

 

  1. Kemampuan Mengendalikan Nafsu

Dengan diberlakukannya berbagai restriksi, pembatasan-pembatasan yang di tetapkan oleh pemerintah selama pandemi, secara tidak sadar membuat kita lebih terlatih mengendalikan hawa nafsu. Nafsu, sebagaimana kita pahami, adalah suatu hal yang secara alamiah Allah berikan kepada manusia. Dalam kadar yang normal, nafsu dibutuhkan untuk menjalankan fungsi kemanusiaan kita, seperti nafsu makan, nafsu tidur, dan lain-lainnya. Tugas kita terhadap nafsu ini adalah bagaimana kita mengendalikannya. Karena jika tidak dikendalikan, dia akan mendatangkan kehancuran. Dikatakan bahwa nafsu kita ibarat kuda liar; yang jika dilatih, dikendalikan, dan didisiplinkan, dia akan mendatangkan manfaat; begitu juga sebaliknya. 

Selama pandemik, banyak sekali aspek pengontrolan hawa nafsu yang terlatih, sadar maupun tidak. Dalam Ramadhan, aspek pengotrolan hawa nafsu inilah yang menjadi poin dalam ibadah puasa kita agar bisa naik tingkat, mencapai kualitas yang lebih mulia dibanding hanya sekedar menahan haus dan lapar seperti yang digambarkan dalam tiga tingkatan orang berpuasa yang disebutkan oleh Imam Ghazali:

  1. Puasa orang awam, yaitu orang yang berpuasa dengan hanya menahan makan, minum dan kemaluannya.

  2. Puasa orang khusus, yaitu orang yang berpuasa selain menahan makan, minum dan syahwat, juga menahan pendengaran, pandangan, ucapan, gerakan tangan dan kaki dari segala macam bentuk dosa.

  3. Puasa khususnya orang yang khusus, yaitu kelompok orang yang berpuasa dengan selain manahan makan dan minum, syahwat dan organ tubuh, juga menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah SWT. Sehingga waktu-waktunya fokus dalam mengingat Allah SWT.

InsyaaAllah dengan kualitas-kualitas di atas, yang kita miliki sebagai hasil tempaan selama menghadapai pandemi selama ini, menjadikan kita lebih optimis menjalani ibadah Ramadhan di tahun ini, untuk menggapai Ramadhan yang lebih baik dari tahun sebelumnya, dan mengangkat derajat kita sehingga menjadi alumni-alumni istimewa Ramadhan tahun ini yang dipantaskan Allah merayakan hari kemenangan Idul Fitri. Selamat menjalankan ibadah Ramadhan.[]




Profil Penulis:

Bernama asli Aluyah Alaydrus, ibu satu putri ini lebih nyaman dengan panggilan “Uya”. Menyelesaikan S2 dari University of Sydney dan S1 di tanah kelahirannya: Lombok. Sis Uya saat ini banyak sibuk di kegiatan pembinaan ibu-ibu dan remaja.



Begini Cara Puasa Tanpa Sembelit

Oleh: Ratri Ciptaningtyas *)



Sembelit atau susah buang air besar biasanya dialami oleh sebagian orang saat berpuasa di bulan Ramadhan. Tidak banyak orang yang merasa sembelit sebagai masalah, karena setelah beberapa hari kemudian biasanya akan kembali kepada kondisi semula. 

Namun kadang sembelit mengganggu kondisi pencernaan yang membuat aktivitas sehari-hari menjadi tidak nyaman. Apalagi saat berpuasa, dimana sebagian besar aktivitas ibadah dilakukan dengan duduk seperti ketika tilawah. Lalu bagaimana caranya supaya kita tidak sembelit ketika berpuasa? Ada baiknya kita kenali terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan sembelit.

Sembelit yaitu ketika pergerakan usus besar melambat dan mengakibatkan makanan dan minuman hasil metabolisme ‘macet’, yang membuatnya tidak terdorong ke rektum. Ada dua kondisi utama penyebab lambatnya usus besar menggerakkan hasil metabolisme, yaitu kurang serat dan kurang cairan. Selain dua faktor utama ini, faktor lain seperti probiotik dan aktivitas fisik ternyata juga membantu metabolisme berlangsung lebih lancar. 

Serat dari makanan terutama berasal dari serat yang tidak larut air, berfungsi untuk membantu hasil metabolisme menjadi lebih berisi. Sumber serat yang tidak larut air banyak terdapat pada sayuran berdaun hijau seperti bayam, kangkung, selada; sayuran umbi seperti wortel, lobak; sayuran polong-polongan seperti kacang panjang, kapri; kacang-kacangan seperti kacang tanah, almond, walnut; buah-buahan seperti  kurma, tin, apel, pir; serta serealia biji utuh dan umbi-umbian. Sedangkan cairan terutama air putih, dapat membantu pelekatan molekul dengan hasil metabolisme sehingga menjadi lunak. 

Probiotik dapat membantu jumlah bakteri baik pada usus memecah prebiotik menjadi asam lemak bebas. Sumber makanan probiotik adalah makanan yang difermentasi seperti tauco, yogur, kimchi, dan kefir. Sedangkan sumber makanan prebiotik adalah semua makanan yang berasal dari tanaman.

Aktivitas fisik dapat membantu peredaran darah menjadi lancar, sehingga gerakan peristaltik usus juga menjadi lebih baik. Aktivitas fisik yang dimaksud adalah gerakan sistematis dan teratur dengan jangka waktu minimal 30 menit sehari, terdiri dari kardio dan angkat beban minimal 3 kali dalam seminggu. 

Mari rencanakan menu sahur dan buka puasa dengan konsumsi serat, air putih, probiotik yang cukup, serta aktivitas fisik menjelang buka puasa. Insya Allah problem sembelit dapat teratasi.[] 



Profil Penulis:

Sis Ratri Ciptaningtyas yang biasa dipanggil Ratri ini adalah seorang dosen Peminatan Gizi di UIN Syarif Hidayatullah. Lahir di Purwokerto, namun besar dan hingga kini menjadi penduduk Depok. Cinta makanan memotivasi sis Ratri berkuliah di jurusan gizi, lalu konsisten menekuninya hingga menjadi doctor dari Universitas Indonesia di Jakarta. Bertugas sebagai abdi negara di UIN Jakarta, sis Ratri saat ini menemanu suami tercinta menempuh studi di Sydney.

MUSLIMAH: SEMAKIN BERUMUR, SEMAKIN BERCAHAYA

Dari Kajian

Ustadzah Herlini Amran


Usia bukan jaminan dan tolok ukur kedewasaan seseorang. Menurut tinjauan Al-Qur’an dan As-sunnah, orang yang bisa menyandang kedewasaan adalah yang hidupnya taat, dan mampu mengimplementasikan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan dalam kehidupan sehari-hari. Allah berfirman dalam QS Al-Hujurat 13: “Sebaik2 manusia adalah yang bertaqwa.” Dengan demikian taqwa dalam makna luas dapat dijadikan sebagai tolok ukur kedewasaan seseorang. 

Menurut Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, klasifikasi usia manusia dikategorikan menjadi: 1) Aulad (lahir hingga akil baligh); 2) Syabab (akil baliqh hingga 40 tahun); 3) Kuhul (40-60 tahun); dan 4) Syuyukh (di atas 60 tahun). Dari Abu Hurairah (r.a.), Rosulullah (Saw) bersabda: “Umur umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.” (HR. Tirmidhi dan Ibnu Majah). 

Dari rentang usia manusia tersebut, usia 40 tahun adalah istimewa, sebab: 1) Disebutkan secara khusus di QS Al-Ahqaf 15; 2) Rasulullah Muhammad (Saw) diutus Allah menjadi Rasul di usia 40-an tahun; 3) Merupakan puncak kedewasaan seseorang dalam memahami hakekat kehidupan. Menurut Ibnu Katsir, ketika sesorang pada usia 40 tahun, maka sempurna akal, pemahaman dan kelemahlembutannya. Usia 40 tahun adalah kemapanan dan kestabilan psikologis manusia. Sebab itu Allah SWT mengutus para nabi & rasul di usia 40-an tahun. Bagi muslimin, keteladanan perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan Islam mengajarkan kepada muslimin bahwa life begins at 40

Bagaimana agar kita menjadi dewasa (menurut koridor Al-Qur’an dan As-Sunnah) di usia 40 tahun? Hendaknya kita telah membiasakan umur kita dengan beramal shalih sebelum mencapai usia 40 tahun. Dan apa yang seharusnya kita lakukan di usia 40 tahun? 1) Sering-sering membaca doa di QS Al-Ahqaf 15; 2) Senantiasa bersyukur (dalam lisan/ucapan, hati dan anggota badan/perbuatan) atas nikmat Allah, termasuk iman dan nikmat Islam; 3) Mengingatkan kedua orangtua agar selalu mensyukuri nikmat Allah; 4) Memperbanyak amal shalih yang diridhoi Allah SWT; 5) Meluangkan waktu untuk keluarga; 6) Senantiasa taubat dan berserah diri kepada Allah SWT.[]

Prinsip Mindful Parenting dalam Mendampingi Anak Belajar Ibadah

Oleh: Ratih Arruum Listiyandini, M.Psi., Psikolog



Ramadhan sedang kita jalani. Salah satu yang bisa kita lakukan sebagai orang tua adalah mendampingi anak kita untuk turut berlatih dalam melaksanakan ibadah puasa dan juga lainnya di bulan Ramadhan. Oleh karena menerapkan penanaman nilai akan pentingnya ibadah itu tidak mudah, kita bisa mencoba menerapkan prinsip mindful parenting.

Jika diartikan, sederhananya mindful parenting adalah proses pengasuhan yang didasarkan kesadaran penuh orangtua mengenai dirinya sendiri dan juga anak yang diasuh. Dalam prosesnya, orangtua perlu untuk mendengarkan dengan penuh perhatian untuk memahami kebutuhan dan perasaan anak, memberikan penerimaan tanpa menghakimi, meregulasi diri dalam proses pengasuhan, sadar akan emosi yang dimiliki diri sendiri dan anak, serta menerapkan belas kasih terhadap diri sendiri dan anak.

Lalu, bagaimana cara menerapkan prinsip mindful parenting dalam konteks mendidik anak untuk beribadah (puasa, sholat, membaca Al-qur’an, dan lainnya)? 

  1. Menyelaraskan Tujuan Ibadah dengan Pola Pemahaman dan Kebutuhan Anak

Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada anak mengenai esensi tentang pentingnya ibadah yang dilakukan. Misalnya, anak bisa diajak berdiskusi sesuai dengan level perkembangannya, mengapa puasa itu diperlukan bagi seorang muslim. Kita juga perlu mendengarkan pendapat anak mengenai hal ini, dan menyesuaikan target ibadah yang kita berikan sesuai dengan kemampuan anak. Hal ini bisa dimulai dulu dengan target yang lebih sederhana dan tidak sulit, kemudian beralih menjadi yang lebih kompleks. Lebih baik lagi, jika anak bisa menyampaikan idenya sendiri mengenai seberapa lama dan seberapa banyak dia ingin melakukan ibadah yang ada. Reward akan keberhasilan yang dicapai juga bisa diberikan jika memang itu dibutuhkan. Sesuaikan hal ini dengan tahap perkembangan pada anak.

  1. Mengamati dan Menerima Kemajuan serta Perkembangan Anak tanpa Adanya Penghakiman

Setiap anak memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan waktunya masing-masing, termasuk pada saat belajar beribadah. Jadi, seandainya dalam prosesnya tidak secepat yang dibayangkan, maka kita perlu terus bersabar mendampinginya, dan memberikan semangat agar ia bisa menyelesaikan target-target ibadah yang sudah dirancang.

  1. Sadar Penuh dan Bersikap Welas Asih pada Diri Sendiri dan Anak

Sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, kita perlu bersikap welas asih pada diri sendiri dan juga anak kita. Akui jika anak merasa kesulitan, hargai usahanya, berikan pujian untuk kemampuannya. Hal ini juga berlaku bagi kita sebagai orangtua, karena seberapa kecil pun kemajuan anak terhadap kemampuannya dalam melaksanakan ibadah, itu juga adalah sebuah pencapaian bersama antara orangtua dan anak. Jangan lupa juga untuk berterima kasih dan merayakan keberhasilan yang sudah dicapai karena itu akan membentuk sebuah rasa mampu dan kompeten pada anak. 

Semoga Ramadhan tahun ini membawa kebaikan dan keberkahan untuk kita dan anak kita. Selamat beribadah di bulan Ramadhan.[]


Profil Penulis:


Sis Ratih Arruum Listiyandini adalah seorang psikolog klinis, dosen dan peneliti. Sis Arruum lulus program sarjana dan master dari Universitas Indonesia, dan kemudian mengabdi sebagai dosen di Universitas YARSI Jakarta. Saat ini sis Arruum bersama keluarganya tinggal di Australia untuk menyelesaikan studi doktor pada bidang psikologi klinis di School of Psychology, UNSW Sydney. Sis Arruum juga aktif melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat di berbagai komunitas. Jika ingin menghubungi, bisa melalui email di: ratih.arruum@gmail.com atau IG @ratiharruum.

AL-QUR’AN BERBICARA TENTANG DUNIA

Kata ‘dunia’ disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 111 kali, sedangkan kata ‘akhirat’ disebutkan sebanyak 114 kali, sama dengan jumlah surat dalam Al-Qur’an. Ini berarti, setiap surat dalam Al-Qur’an menyebutkan tentang akhirat; dan seluruh ayat Al-Qur’an berorientasi pada akhirat, meskipun di awalnya menyebutkan tentang dunia. 

Bagaimana Al-Qur’an berbicara tentang dunia dapat ditinjau dari tidak ada satupun ayat Al-Qur’an yang memuji tentang dunia; bahkan semuanya mencela. Kehidupan dunia adalah main-main dan senda gurau (Al-An’am: 32 dan Al-Ankabut: 64). 

Sebaliknya, kehidupan akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa (Al-An’am: 32), dan akhirat itulah sesungguhnya kehidupan (Al-Ankabut 64). Kehidupan di akhirat bersifat kekal dan selama-lamanya. Berbeda dengan kehidupan di dunia yang hanya sebentar (An-Nisa: 77). Kelak di akhirat, semua nikmat dari Allah dan semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan. Sehingga menurut para ulama: dunia yang halalnya akan dihisab, yang haramnya akan diazab.

Sebegitu penting kehidupan akhirat dibandingkan dunia, maka hendaklah semua amal perbuatan yang kita ikhtiarkan di dunia ini bernilai ibadah dan berorientasi pada akhirat. Misalnya mencari nafkah yang halal, makan-minum yang diniatkan karena ketaatan kepada Allah SWT, dsb.[]


Ustadz Zulfi Akmal Lc, MA




Menyambut Ramadhan bagi Ibu Menyusui: Amankah Berpuasa?

Alhamdulillah, Ramadhan hampir tiba. Bulan rahmat dan berkah, menjadikan umat semangat berpuasa dan beribadah mengumpulkan pahala berlimpah. Bagi ibu menyusui, mungkin kadang terpikir: amankah untuk berpuasa sambil menyusui? Artikel ini insyaaAllah akan membahas dari berbagai sisi.


Panduan menyusui telah tertulis dalam Al-Qur’an, yaitu QS. Al-Baqarah (2):233 dan QS. Luqman (31):14; yang menganjurkan untuk menyusui hingga 2 tahun bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Panduan dari WHO (World Health Organisation) pun sejalan, yaitu rekomendasi untuk menyusui hingga 2 tahun atau lebih (bagi yang ingin melanjutkan penyusuan); dengan menyusui bayi secara ASI eksklusif pada 6 bulan pertama untuk tumbuh kembang optimal, dan menyusui yang dilanjutkan bersama makanan pendamping yang bernutrisi. 


Perlu ibu ketahui bahwa tipe puasa intermiten saat Ramadhan tidak mempengaruhi kandungan ASI. Berbagai hasil penelitian melaporkan bahwa berpuasa tidak mengubah kandungan nutrisi mayor (karbohidrat, protein, dan lemak) di dalam ASI. Kandungan nutrisi minor (Magnesium, Zinc, Natrium, Kalium, Fosfat) mengalami perubahan signifikan, namun hal ini hanya sementara dan tidak mempengaruhi pertumbuhan bayi jangka pendek. Tubuh ibu akan beradaptasi dengan perubahan asupan makan dan memakai kalori dalam tubuh ibu untuk memproduksi ASI secara optimal.   

 

Jika ibu menyusui ingin berpuasa saat Ramadan, tentunya bisa saja, selama tidak ada dampak negatif terhadap kesehatan ibu dan bayi. Ibu dapat mempertimbangkan situasi dirinya dan bayi sebelum memutuskan berpuasa atau tidak, karena status kesehatan setiap ibu dan bayi berbeda. Jika ibu merasa sanggup, yakin akan kesehatan ibu dan bayi selama berpuasa, ibu dapat memutuskan untuk berpuasa. Namun jika ibu kuatir akan dampak berpuasa pada kesehatan ibu atau bayi, ibu dapat memilih tidak berpuasa. Ibu menyusui bisa dikategorikan “sakit” jika kondisi kesehatan ibu tidak memungkinkannya berpuasa dan/atau mempengaruhi kondisi bayi.


Dengan rahmat dan cinta-Nya, Allah memberikan kemudahan terkait puasa Ramadhan bagi ibu menyusui. Dalam QS. Al-Baqarah (2):184: “Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin”.


Sebagai panduan umum dari sisi kesehatan, saat ibu menyusui ASI eksklusif untuk bayi pada 6 bulan pertama, dianjurkan untuk tidak berpuasa dulu. Ibu sedang beradaptasi dengan perubahan hormon menyusui yang meningkatkan rasa haus, dan banyak dilaporkan bahwa ibu merasakan peningkatan rasa haus saat menyusui bayi pada periode ini. Saat bayi berusia antara 6 hingga 12 bulan, WHO merekomendasikan ASI sebagai nutrisi utama. Hal ini berarti tidak mengurangi frekuensi atau jumlah menyusui saat ibu mulai memperkenalkan makanan pendamping pada bayi. Menyusui bayi dahulu sebelum menawarkan makanan pendamping, karena makanan pendamping tidak bertujuan untuk menggantikan ASI, yang komposisinya lebih baik dan lebih padat nutrisi dibandingkan sayur rebus, buah, daging cincang, atau nasi tim. Tetap sering menyusui bayi pada periode ini akan memenuhi kebutuhan nutrisi bayi yang sesuai dengan usia; adalah wajar jika ibu mempertimbangkan dan memutuskan untuk belum berpuasa dahulu pada periode ini. 


Saat berusia diatas 12 bulan, beberapa bayi mulai memilih untuk makan lebih sering, dan ibu bisa menimbang perubahan situasi. Beberapa bayi mulai aktif bergerak dan terkadang (tidak selalu) memilih menyusu lebih jarang di siang hari; kemudian memilih menyusu lebih sering saat malam saat situasi lebih tenang. Jika ibu merasa sanggup, ibu dapat mencoba berpuasa dan lihat perkembangannya. Jika berjalan lancar, Alhamdulillah.

 

Jika tetiba, misal bayi minta menyusu lebih sering di siang hari atau ibu merasa pusing/sakit kepala/perubahan kesadaran, maka sangat dianjurkan untuk segera berbuka. Allah Maha Tahu niat kita dan Allah tahu kita mencoba. Pulihkan kondisi ibu dan pertimbangkan kesehatan ibu (dan bayi) sebelum memutuskan mencoba berpuasa lagi. Tidak apa menimbang dan menjalani hari ke hari. Mungkin ibu bisa mencoba puasa 1 hari/tidak berpuasa 2 hari secara reguler, atau 2-3 hari per minggu, atau pola ini bisa berubah sesuai situasi Ibu dan bayi hari ke hari. Jika ibu punya kondisi medis atau perlu obat secara rutin, dianjurkan agar berkonsultasi dengan dokter dan mempertimbangkan saran tersebut sebelum mengambil keputusan. Memutuskan berpuasa atau tidak, penting bagi ibu untuk merespon segera menyusui saat bayi menunjukkan tanda awal ingin menyusui.


Hal yang bisa ibu coba untuk membantu menjaga kondisi jika ibu menyusui memutuskan untuk berpuasa:


1. Tetap terhidrasi: Jaga konsumsi cairan setiap hari. Minum air sedikit-sedikit tapi sering di antara berbuka dan sahur. Minum air terlalu banyak sekaligus saat sahur justru membuat kandung kemih segera penuh dan BAK banyak sebelum puasa mulai, dan ibu bisa merasa lebih haus setelahnya. Hindari minuman berkafein (kopi, teh, soda, coklat) karena membuat badan terdehidrasi dan lebih haus.


2. Jaga asupan nutrisi: Penting untuk tidak melewatkan sahur dan berbuka! Sebisanya kurangi  garam, karena bisa membuat kita lebih mudah haus. Meal plan per minggu bisa membantu ibu merencanakan menu padat nutrisi. Untuk sahur: karbohidrat kompleks (whole grain, brown rice, granola, quinoa) membuat  kita merasa kenyang lebih lama dibandingkan nasi putih, pasta, atau roti tawar. Sertakan protein, sayur dan buah, serta lemak baik (ikan, alpukat, kacang-kacangan) dalam menu. Segerakan berbuka, dengan makanan padat energi dan tinggi kandungan air untuk memulihkan tenaga. Beberapa menu kreatif seperti: smoothies kurma dan susu, green smoothies, atau sup kaldu dengan legumes (bisa masak jumlah besar dan dibekukan sesuai kebutuhan). Konsumsi snack bernutrisi antara buka dan sahur: kacang, kurma, granola, buah (plus nut butter untuk extra nutrisi). Jika sulit menghindari gorengan atau jajanan manis, pastikan kita sudah makan makanan bernutrisi sebelum menikmati jajanan. 


3. Jangan terlalu lelah: Rencanakan aktivitas harian. Take it easy dan hindari paparan panas berlebih. Pilih kegiatan tenang yang bisa dilakukan indoor. Bagi stay-at-home mums, sempatkan istirahat di antara berbenah. Turunkan ekspektasi, tidak semua harus segera dikerjakan. Ibu juga perlu beristirahat karena badan ibu juga sedang memberikan nutrisi untuk bayi. Ramadan adalah saat yang istimewa, energi yang pulih setelah ibu beristirahat bisa ibu gunakan untuk beribadah.


4. Saat menyusui: Terkadang, “stress fisik” saat berpuasa dapat mempengaruhi LDR (let-down reflex/aliran ASI). LDR bisa mengalir lebih lambat dan bayi terkadang sedikit lebih rewel. Hal ini hanya sementara. Payudara ibu berisi kelenjar air susu yang bekerja serupa dengan kelenjar air liur. Saat kita sakit/lelah/takut/stress, kadang mulut terasa kering, namun air liur tidak pernah habis. Jika menelan, air liur juga tidak akan habis dan akan diproduksi lagi. Hal yang sama terjadi pada kelenjar ASI di payudara ibu. Beberapa cara yang bisa ibu lakukan untuk membantu LDR/aliran ASI: memijat payudara saat bayi menyusui, menyusui di area yang tenang, menyusui sambil berbaring, atau tarik nafas panjang secara reguler. Hal ini membantu ibu lebih rileks dan tenang, sehingga LDR/aliran ASI menjadi lebih lancar.


5. Jika Ibu memerah ASI: Ibu memutuskan memerah ASI karena berbagai alasan. Serupa dengan menyusui, tujuan memerah adalah mengumpulkan ASI saat ASI mengalir/LDR terjadi. Saran di atas untuk membantu LDR/aliran ASI juga dapat membantu saat ibu memerah ASI. Hal yang juga perlu ibu ketahui saat memerah adalah: bahwa kadang “stress fisik” saat puasa mungkin dapat membuat aliran ASI lebih lambat dan kadang hasil ASI perah mungkin terlihat berbeda. Memerah ASI berbeda dengan menyusui bayi langsung di payudara, sehingga tambahan sesi memerah terkadang diperlukan. Beberapa ibu merasa setelah berbuka dan mendapat asupan nutrisi, badan ibu merasa lebih nyaman dan rileks sehingga LDR/aliran ASI menjadi lebih lancar. 


6. Lanjutkan menyusui malam hari: Hormon prolactin (untuk produksi ASI) secara natural berada pada level paling tinggi pada jam 1 hingga jam 5 dini hari. Lanjut menyusui bayi pada jam-jam ini memastikan tubuh ibu mendapat pesan bahwa “bayi memerlukan ASI dan tubuh ibu perlu terus memproduksi ASI untuk memenuhi kebutuhan bayi”. Beberapa Ibu merasa posisi menyusui sambil tidur/berbaring (mengikuti anjuran Safe Sleep Seven) cukup membantu ibu beradaptasi untuk tetap beristirahat sambil terus menyusui. Simpan botol air minum di dekat tempat tidur agar mudah bagi ibu untuk minum air saat malam hari sebelum sahur. 


Penting bagi ibu untuk selalu mendengarkan apa yang badan ibu rasakan dan memperhatikan kebutuhan bayi. Ibu bisa mengamati BAK dan BAB bayi untuk memastikan bayi mendapat cukup asupan, yaitu warna BAK yang jernih dan tidak berbau, serta BAB dengan konsistensi lembek. Jika BAK bayi konsisten dan sering berwarna lebih pekat dan berbau pesing saat ibu berpuasa, atau jika ibu menyusui merasa pusing/sakit kepala/perubahan kesadaran/hampir pingsan di tengah berpuasa, segerakan berbuka: sebaiknya dengan air campuran gula garam atau minuman manis atau cairan rehidrasi, dengan jumlah tidak berlebih. 


Jangan merasa bersalah saat membatalkan puasa jika hal ini terjadi, karena kesehatan ibu dan bayi pun penting. Allah tidak menjadikan puasa Ramadan sebagai beban untuk kita, dan Allah menciptakan ibu untuk memberikan ASI sebagai nutrisi bagi bayinya. ASI adalah hak bayi. Ada banyak ibadah yang masih dapat kita lakukan selama Ramadan, jikapun kita memutuskan untuk tidak berpuasa: berdzikir, membaca Al-Qur’an, tarawih dan solat sunnah, berzakat, dsb. Mengasuh bayi dan anak serta menjaga keluarga juga bagian dari ibadah jika kita niatkan karena Allah. 


Semoga informasi di atas dapat membantu ibu menyusui mengambil keputusan yang terbaik untuk diri ibu dan bayi terkait berpuasa, tergantung situasi masing-masing, di bulan Ramadhan ini. 


Selamat menyambut Ramadan, Ibu. Semoga Allah lancarkan segala kegiatan ibadah kita, dan semoga segala berkah dan rahmat Allah tercurah kepada kita semua di bulan suci ini.[]

Oleh: Sis Inggita Shintowati, MBBS. MD. MHM. Cert IV Breastfeeding Education (Counselling)

BRUNCH IQRO SISTERHOOD

Setelah dibentuk di bulan Februari 2022 lalu, kepengurusan Sisterhood (SH) IQRO periode 2022–2024 di bawah pimpinan sis Nia Ulya mengadakan silaturahim dan rapat koordinasi umum, dalam format acara brunch (breakfast lunch) pada hari Senin, 21 Maret 2022 lalu.  Bertempat di restoran Rashays yang terletak di suburb Punchbowl NSW, acara yang dimulai sejak pukul 11am tersebut berlangsung santai dan meriah, Alhamdulillah. Sebanyak 9 orang pengurus, termasuk sis Nia Ulya, menghadiri brunch tersebut. 

Selepas menikmati menu-menu yang disediakan, sis Nia membuka rapat dengan memaparkan rencana kegiatan-kegiatan IQRO selama bulan Ramadhan 2024. Karima (Kajian Ramadhan Muslimah) in syaa Allah akan diadakan setiap hari Senin dan Rabu, dan berlangsung secara offline apabila ustadz pemateri kajian tidak terkendala datang ke Sydney. Seperti halnya di tahun-tahun sebelum pandemik covid-19, di bulan Ramadhan tahun 2022 ini IQRO in syaa Allah akan mengadakan ifthar jama’i di hari Sabtu dan ifthar youth di hari Jum’at, yang dimulai sejak minggu kedua bulan Ramadhan. Di sepanjang 10 malam terakhir Ramadhan, in syaa Allah akan diadakan mabit di masjid IQRO. Partisipasi semua pengurus SH dan bantuan donasi makanan dari ummahat IQRO sangat diharapkan untuk kelancaran kegiatan-kegiatan ifthar dan mabit tersebut.

Tak terasa hampir 3 jam brunch berlalu dengan obrolan santai diselingi gelak tawa. Menjelang pukul 2pm, acara ditutup dengan foto bersama pengurus. 

Selamat bertugas Sisterhood IQRO 2022-2024. Barakallahu fiikunna. []

HIJRAH MENUJU PERADABAN MULIA

Oleh: Ustadz Dr, Agus Setiawan, Lc., MA*)

Sungguh tepat para sahabat (ra) memilih peristiwa pindahnya Rasulullah (Saw) dari Mekkah ke Madinah (hijrah) sebagai sistem penanggalan Islam. Karena peristiwa hijrah adalah awal momentum kebangkitan ummat menuju peradaban mulia. Kalau kita kaji, maka esensi hijrah itu adalah perubahan; yakni berubah dari situasi yang tidak baik atau kurang baik, menuju situasi yang baik atau lebih baik. Yang tak kalah penting adalah: bahwa perubahan itu ditandai dengan pergerakan (action).

Sudah menjadi sunnatullah bahwa alam semestea ini memiliki pergerakan. Air yang tergenang pun akan menjadi sumber penyakit jika tidak mengalir. Begitu juga hijrah para Nabi (alaihimus salam) yang mengokohkan hukum alam, bahwa dengan pergerakan dan perubahan itu akhirnya kelestarian perjuangan dan kemenangan akan terwujud.

Merubah Yatsrib Kepada Madinah

Sebelum Nabi (Saw) hijrah, kota yang dituju itu dikenal dengan nama Yatsrib. Ketika Rasulullah (Saw) tiba di kota itu, beliau mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah. Secara bahasa, Madinah artinya adalah kota. Tapi dari akar kata itu juga lahir kata tamaddun, yang artinya adalah peradaban.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebuah kota mestinya menjadi tempat orang-orang yang beradab. Dari mulai hati, pemikiran, akhlak dan karya-karya manusia di dalamnya, mestilah menujukan peradaban yang tinggi.

Membangun Masjid

Selain mengubah Yatsrib menjadi Madinah, maka hal lain yang Rasulullah (Saw) lakukan adalah membangun masjid. Pembangunan masjid ini merupakan pertanda bahwa peradaban Islam tidak lepas dari ruku’ dan sujud ummat Islam kepada Allah azza wa jalla. Tentu ruku’ dan sujud yang dimaksudkan di sini adalah ketaatan penuh kepada Allah Ta’ala. 

Dengan pembangunan masjid ini pula Nabi Muhammad (Saw) ingin menyampaikan pesan, bahwa mewujudkan peradaban Islam itu bagi Muslim adalah tonggak ubudiyah bentuk pengabdian dan penghambaan diri kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Dibangunnya masjid sejak awal perjalanan dalam membangun peradaban menunjukan bahwa peradaban dalam Islam tidak ditandai oleh gedung-gedung pencakar langit. Tidak pula oleh jumlah uang di pusat bisnis dan perbankan. Tetapi peradaban Islam tidak bisa terlepas dari hubungan nilai-nilai ketuhanan.

Peradaban inilah yang didambakan oleh semua manusia yang normal. Manusia menginginkan kebahagiaan (sa’adah) dan bukan sekedar kesenangan (mataa’). Nilai-nilai ketuhanan itulah yang akan membawa kesenangan kepada kebahagiaan. Tanpa nilai samawi, maka kesenangan akan hampa dan jauh dari kebahagiaan.

Kemandirian Ekonomi Ummat

Pada tahun kedua setelah hijrahnya Rasulullah (Saw), turunlah perintah berzakat. Dalam menyikapi perintah zakat ini, Rasulullah (Saw) tidak saja memahaminya sekedar perintah mengeluarkan harta. Tetapi dipahami dengan visi yang lebih besar, yaitu membangun kekuatan ekonomi bagi ummat.

Untuk merealisasikan hal tersebut, maka Nabi (Saw) melakukan beberapa hal, antara lain:

  1. Mengajak para Sahabat untuk membeli sebuah sumur.

    Perlu diketahui bahwa pada saat Nabi (Saw) hijrah, di Madinah saat itu hanya ada satu sumur. Dan sumur itu milik orang Yahudi. Sumur saat itu sangat vital dalam kemandirian masyarakat muslim. Atas anjuran Rasulullah (Saw), sumur tersebut dibeli oleh sahabat Utsman bin Affan (ra)

  2. Menguasai pasar.

    Saat itu orang-orang Yahudi memiliki kelebihan dalam bisnis dan keuangan. Maka Nabi (Saw) memotivasi para sahabat yang sekiranya memiliki modal dan kemampuan bisnis untuk menguasai pasar. Penjelasan tentang urgensi agar ummat memiliki pasar sebagai pusat penguatan perekonomian ummat ini disambut baik oleh Abdurrahman bin Auf dan lainnya.

Dengan demikian, memperingati tahun baru hijrah seharusnya menyadarkan kita akan tanggung jawab bersama (mas-uliyah jama’iyyah) untuk membangun kembali peradaban mulia yang pernah diletakan pondasi-pondasinya oleh para pendahulu kita.

Wallahu A’lam

IMG-20210418-WA0020.jpg
 

Dr. H. Agus Setiawan, Lc. MA



AGAR TIDAK MENYESAL SETELAH RAMADHAN (Bagian-2)

In syaa Allah kita lanjutkan pembahasan tentang apa dan siapa saja orang yang merugi di bulan Ramadhan, seperti yang telah diuraikan di bagian-1 sebelumnya.


Ketiga: Orang yang Tidak Menghayati Ibadah yang dijalaninya

Orang yang berpuasa hanya menahan lapar dan dahaga. Padahal semestinya ada tiga esensi puasa, yaitu: 

  1. mampu mengendalikan jiwa,

  2. mengisi waktu dengan mengingat Allah Ta’ala

  3. mengasah kepekaan dan kepedulian sosial


Karena itulah Rasulullah Saw bersabda:


‎رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ


“Betapa banyak orang yang hanya dapati dari puasa rasa lapar dan dahaga saja. Dan betapa banyak orang yang shalat malam hanya mendapatkan rasa capek saja.” (HR. Ahmad, 2:373 dan Ibnu Majah, no. 1690 dari Sahabat Abu Hurairah ra)


Keempat: Serius dan Bersungguh-Sungguh

Derajat takwa yang menjadi tujuan berpuasa tidaklah diraih begitu saja tanpa usaha dan kesungguhan. Bukan jaminan juga semua yang melalui bulan Ramadhan layak meraih predikat itu. Karenanya, Allah menggunakan ‘la’alla’ (لعلكم) yang bermakna seseorang bisa mencapai kemuliaan takwa dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.


Rasulullah Saw telah memberi teladan kepada kita. Diriwayatkan bahwa:


‎كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ. 


“Rasulullah Saw sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)


Sufyan Ats Tsauri mengatakan: “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan Ats-Tsauri pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksanakan shalat jika mereka mampu. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)


Kelima: Selalu Berharap Amalnya diterima oleh Allah Azza Wa Jalla

Orang yang tidak akan menyesal setelah Ramadhan adalah mereka yang tidak tertipu dengan amal mereka sendiri; namun mereka berharap dan berdoa semoga Allah Ta’ala menerimanya.

Ibnu Diinar mengatakan, “Tidak diterimanya amalan lebih aku khawatirkan daripada banyak beramal.” Adapun Abdul Aziz bin Abi Rowwad berkata, “Saya menemukan para salaf begitu semangat untuk melakukan amalan sholih. Apabila telah melakukannya, mereka merasa khawatir apakah amalan mereka diterima ataukah tidak.”


Wallahu A’lam

*) Tentang Penulis

Ustadz Dr. Agus Setiawan, Lc., MA 

IMG-20210418-WA0020.jpg