Melindungi Diri dari Sifat Ima’ah

Dari Kajian Ustadz Abdullah Haidir, Lc.

Imma’ah berasal dari kata ma’a (bersama), yang berarti: sikap dimana orang tidak punya prinsip, dan hanya ikut kesana kemari sesuai dengan pandangan/nilai yang berlaku. Kata lain yang sesuai adalah latah atau mencla mencle (Bahasa Jawa). Sikap ini sangat tidak dibenarkan dalam Islam. Rasulullah (Saw) bersabda: “Jangan kalian menjadi imma’ah! Kalian mengatakan: ‘Jika manusia berbuat baik, kami pun akan berbuat baik; jika mereka berbuat kezaliman, kami juga akan berbuat zalim.’ Akan tetapi, kokohkan diri kalian. Jika manusia berbuat baik, kalian juga berbuat baik, jika mereka berbuat buruk, maka jangan kalian berbuat zalim.” (HR Tirmidzi, hadist hasan).

Dalam Qur’an (QS. An-Nisa: 143) disebutkan tentang karakter Muzabzab: “Mereka dalam keadaan ragu antara yang demikian (iman atau kafir), tidak termasuk kepada golongan ini (orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang kafir). Barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk baginya.” Ayat ini menerangkan tentang sikap ragu-ragu dan tidak punya prinsip, sehingga juga termasuk dalam kategori Imma’ah.

Pembahasan masalah imma’ah berkaitan dengan masalah yang tegas/terang kedudukannya, yaitu masalah pokok/dasar agama, dan yang sudah yang jelas panduan/dalilnya, serta berdasar kesepakatan ulama; bukan masalah yang masih samar atau yang memiliki berbagai sudut pandang. Misal dalam hal aqidah dan syari’at, maka kokohkan sikap kita, ambil sikap, berpihaklah, jadilah pembela; dan jangan imma’ah alias ikut sana-sini. Tetapi dalam perkara-perkara cabang dan bukan yang prinsip, hendaknya kita membuka ruang sesuai kondisi terhadap pandangan-pandangan yang berbeda.

Gambaran keteguhan atas prinsip diajarkan oleh Rasulullah (Saw) sewaktu diminta oleh kaum Qurays untuk berhenti berdakwah dengan imbalan/iming-iming yang sangat besar. Beliau bersabda: “Demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah Yang akan membuktikan kemenangan itu di tanganku atau aku binasa karenanya.”

Juga keteguhan mantan para penyihir yang telah beriman di hadapan Fir’aun, seperti dikisahkan dalam QS. Taha: 71-73. Fir’aun marah karena mereka beriman kepada Tuhannya Nabi Musa tanpa ijinnya, dan ia mengancam akan menyiksa mereka, namun mereka tetap teguh beriman.

Juga kisah-kisah lain tentang keteguhan berprinsip, seperti dalam kisah Ashabul ukhdud, kisah Bilal, kisah Abu Bakar tentang Isra’ Mi’raj, kisah Saad bin Abi Waqas, kisah Omar Mukhtar, dll.

Selain berarti tidak berprinsip terhadap hal-hal yang pokok, imma’ah juga berarti tanda kemunafikan (QS. Al-Baqarah: 14): “Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata: “Kami telah beriman”. Tetapi apabila mereka kembali pada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.” Semoga kita dijauhkan dari sifat munafik yang tercela.

Imma’ah terjadi bukan tanpa sebab. Di antara sebab-sebab Imma’ah adalah: lemahnya keyakinan, berorientasi pada syahwat, lemah pemahaman, tidak kontinyu dalam pembinaaan, terpedaya dengan nilai materialisme. Bagaimana agar kita tidak memiliki penyakit imma’ah? Perkuat keyakinan kepada Allah SWT dan ajarannya, hendaknya kita berorientasi pada akhirat, tingkatkan pemahaman, terus membina diri dan memahami hakekat dunia yang fana.[]