FIQH THAHARAH

Dari Kajian Ustadzah Nur Hamidah, Lc., M.Ag

22 JUNE 2022

Bahasan pertama tentang fiqh thaharah adalah mengenali beberapa jenis najis, yaitu: 1) Najis yang cukup dicuci tanpa membatalkan wudhu (darah luka, bangkai, nanah, muntah); 2) Najis yang harus disucikan dengan istinja dan berwudhu (darah istihadoh, madzidan wadi); dan 3) Najis yang harus disucikan dengan mandi janabah (haid, nifas, mani). 

Dalam kaitannya dengan ummahat, najis yang berasal dari tubuh khususnya organ reproduksi wanita bisa berupa: 1) Cairan (wadi, madzi, mani, air seni), dan 2) Darah (haidh, nifas dan istihadoh). Wadi adalah cairan keputihan; madzi adalah cairan putih yang keluar dari farj di saat terangsang syahwat; dan mani adalah cairan putih yang keluar dari farj saat senggama atau saat bangun tidur, baik teringat mimpinya atau tidak. Haidh adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang sudah baligh, dan lamanya berkisar 1 s/d 15 hari atau tergantung kebiasaan; nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan atau keguguran, dan lamanya berkisar 1 s/d 40-60 hari. Sebagai ummahat, kita mesti mencermati apakah darah yang keluar dari farj merupakan darah yang sehat (yang keluar pada masa haid atau setelah melahirkan), atau darah yang dikarenakan penyakit reproduksi (yaitu darah istihadoh). Sebab hal ini menentukan jenis najisnya dan cara mensucikan. Wadi, madzi, air seni dan darah istihadoh adalah najis ringan; sedangkan mani, haidh dan nifas adalah najis berat.

Bahasan kedua tentang fiqh thaharah adalah tentang cara mensucikan. Untuk najis yang berasal dari luar tubuh seperti: najis di lantai, maka disiram dengan air; najis di tanah, maka dibersihkan dengan diambil najisnya dan dikeringkan oleh matahari; najis di tempat tidur, maka diambil najisnya lalu dicuci dengan air; najis di pakaian, maka dicuci dengan air; dan najis di sepatu, maka diambil kotorannya lalu disiram air atau digosokkan ke tanah. Sedangkan untuk najis yang berasal dari tubuh, cara mensucikannya ada 2 macam, yaitu: 1) Mensucikan dengan istinja lalu berwudhu (untuk wadi, madzi, air seni/kotoran/angin, dan darah istihadoh), dan 2) Mensucikan dengan mandi (untuk mani, haidh, nifas dan junub). Tanda suci dari darah haidh atau nifas adalah jika cairan yang keluar sudah tampak bersih seputih kapas (HR. Darimi 848). 

Bahasan ketiga tentang fiqh thaharah adalah tentang dispensasi bersuci; yaitu berupa: 1) Tayamum, 2) Mengusap jabirah/perban; 3) Mengusap sepatu/sarung kaki. Dalil tentang tayamum adalah QS 4:63, bahwa: “….. bumi dijadikan untukku sebagai masjid dan alat bersuci….”. Tayamum dibolehkan jika ada udzur berupa: kesulitan air, tidak kuat menggunakan air, khawatir dengan keselamatan harta dan diri untuk mendapatkan air, atau karena cuaca yang sangat dingin. Jika seseorang udzur karena sakit sehingga ada anggota badannya diperban, maka bagian yang diperban tersebut hukumnya wajib dibasuh sebagai pengganti wudhu atau mandi. Dan jika seseorang sedang safar, maka baginya keringanan untuk mengusap sepatu/sarung kaki saat berwudhu, yang berlaku selama 3 hari 3 malam.[]