Pentingnya Mencatat dalam Majelis Ilmu

Oleh: Meilina Widyawati

Sering kita mendengar kalimat “Ikatlah ilmu dengan menulisnya”. Kalimat mulia ini adalah sabda Rasulullah Muhammad (SAW). Dari ‘Abdullah bin ‘Amr (RA) dan Anas bin Malik (RA), Rasulullah (SAW) bersabda:

“Ikatlah ilmu dengan dengan menulisnya” (dalam redaksi yang lain: “jagalah ilmu dengan menulisnya”). Qayyidul ‘ilma berarti kuatkan, hafalkan dan jaga jangan sampai lepas.

Hadist ini penting untuk kita amalkan dalam majelis ilmu, sebab di antara adab majelis imu adalah mencatat ilmu yang didapat. Mengapa mencatat penting dan bermanfat?

Pentingnya Mencatat dalam Islam: 1. Perintah Allah dalam Al-Qur’an:

QS Al-Alaq: 4

ٱَّلِذىعََّلمَ ِبَٱْلقَلِمَ

Artinya: “Yang telah mengajarkan dengan pena.”

Selain perintah agar kita “membaca” tanda-tanda kebesaran-Nya, Allah juga mengajarkan manusia menulis dengan perantaraan pena atau alat tulis lain. Dengan dijadikan dua hal ini sebagai perintah dalam ayat-ayat pertama yang diturunkan, Islam menekankan pentingnya aktivitas membaca dan menulis bagi muslimin.

QS Al Baqarah: 282

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”

Allah SWT Maha Mengetahui bahwa manusia punya keterbatasan akal dan pikiran untuk mengingat, sehingga Allah SWT memerintahkan agar kita mencatat. Bisa kita bayangkan seandainya 2 orang yang berhutang-piutang menjadi berselisih hanya karena masing-masing punya daya ingat yang berbeda tentang transaksi mereka, atau malah mungkin lupa dengan hutangnya piutangnya. Dengan adanya catatan yang diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak, in syaa Allah perselisihan bisa dicegah.

2. Hadist Rasul

Dari Abu Hurairah (RA) berkata: Rasulullah (SAW) bersabda: "Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya." (HR Muslim). Ilmu yang bermanfaat di sini bisa berarti ilmu yang diajarkan, baik itu melalui lisan ataupun tulisan.

3. Ajaran Rasul dalam Pengumpulan dan Penulisan Al-Qur’an

Dari Shirah Nabawi kita belajar tentang sejarah pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi; baik itu pengumpulan dalam konteks hafalan (hafadzahu) ataupun dalam konteks penulisan (kitabuhu kullihi). Ketika wahyu turun, Rasulullah (SAW) memerintahkan para sahabatnya untuk menghapal dan menuliskan. Penulisan Al-Qur’an masa itu masih tersebar di antara para sahabat, dan urutannya tidak sesuai nuzulnya. Setiap ayat dituliskan di tempat penulisan yang sesuai dengan instruksi Nabi (SAW) atas petunjuk Allah SWT.

  1. Teladan Khulafaur Rasyidin dalam pengumpulan, penulisan dan pembukuan Al-Qur’an

    Dikarenakan gugurnya 70 orang penghafal Qur’an dalam perang Yamamah untuk memerangi orang-orang Islam yang murtad, Umar (RA) mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar (RA) untuk mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an karena khawatir musnah. Setelah melalui proses yang cukup panjang dan atas ijin Allah Ta’ala, akhirnya terwujudlah mushaf Al-Qur’an beserta salinannya pada masa khalifah Ustman (RA).

  2. Kisah Pengumpulan dan Pencatatan Hadist

    Melalui kitab-kitab hadist yang ditulis oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Da’ud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad An-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah, generasi-generai setelah tabi’un tabi’in mengetahui dan mempelajari bagaimana Rasulullah (SAW) mengajarkan Islam melalui perkataan dan perbuatan beliau; padahal para penulis hadist tersebut hidup di masa ratusan tahun setelah hijrah (contoh: Imam Bukhari lahir pada tahun 194 H, Imam Ibnu Majah lahir pada tahun 209 H).

    Untuk menuliskan sebuah hadist, para penulis tersebut melakukan perjalanan dengan mendatangi para perawinya, termasuk ke wilayah/negara lain. Mereka mendedikasikan hidupnya untuk mengumpulkan dan mencatat hadist, hingga terkumpul sebanyak ribuan bahkan puluhan ribu. Tanpa ikhtiar mereka untuk melakukan perjalanan, menemui para perawi, mengumpulkan, menyeleksi kesahihannya, dan kemudian menuliskan, mungkin kita tidak berkesempatan mendapatkan ajaran Rasulullah (SAW) seperti saat ini.

  3. Kisah Ulama-Ulama Penulis Kitab

    Dari kisah-kisah ulama terdahulu seperti Imam Syafi’i, Ibnu Jarir At Thabari, Imam Nawawi dan lain-lainnya, kita mengetahui bagaimana mereka sibuk menulis kitab di sepanjang hayat mereka.

    • Imam Syafi'i (wafat pada tahun 204 H) membagi waktunya setiap malam menjadi tiga bagian: sepertiga yang pertama menulis buku, sepertiga yang kedua untuk shalat tahajjud, dan sepertiga yang ketiga untuk beristirahat.

    • Ibnu Jarir At Thabari (wafat pada usia 86 tahun, pada tahun 310 H) mewariskan karya ilmiahnya dalam berbagai disiplin ilmu keislaman: tafsir, tarikh, fikih dan lainnya sebanyak kurang lebih 351,000 halaman.

    • Imam Nawawi (wafat pada tahun 676 H), yang mewariskan karya-karya ilmiah yang sangat penting dalam setiap disiplin ilmu ke-Islam-an, mengisahkan ikhtiarnya dalam menulis karya-karya itu: "Aku makan hanya sekali sehari, setelah shalat Isya. Minum sekali di waktu sahur". Muridnya bertanya tentang jadwal tidurnya, beliau menjawab, "Aku tidur bila mata sudah tidak dapat ditahan, aku menyandarkan kepala ke tumpukan buku-buku, beberapa saat kemudian terjaga dan meneruskan tulisan" (Ibnu Syuhbah, Tabaqatussyafiiyyin). Beliau bahkan belum sempat menikah hingga wafat, karena mendedikasikan waktunya untuk menulis kitab.

Manfaat dari mencatat:

  1. Mendapatkan Kemudahan, Keberkahan dan Keutamaan

    Dari Abu Darda, Rasulullah (SAW) bersabda, "Siapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Orang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi sampai ikan di air. Keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Para ulama itu pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham. Yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Siapa yang mengambil ilmu itu, maka telah mendapatkan bagian yang paling banyak."

    Aktivitas menyimak dan mencatat adalah termasuk adab dari menuntut ilmu. Mengajarkan kebaikan dapat dilakukan dengan lisan ataupun tulisan.

  2. Mencegah Lupa

    Dengan mencatat ilmu dalam majelis, kita berusaha merangkum apa yang didengar sehingga terhindar dari lupa, sebab daya ingat manusia lemah dan terbatas.

  3. Mengikat/menjaga ilmu

    Aktivitas mencatat membuat kita menjadi lebih fokus dalam majelis ilmu; tak mudah ter-distracted dengan hal-hal lain (misal HP) dan membuat ingatan lebih kokoh. Ingatan yang kokoh terhadap ilmu akan menjadi dasar amalan, ataupun menjadi bahan pengajaran, sehingga kita mendapat keberkahan dari ilmu tersebut di dunia dan akhirat, in syaa Allah.

  4. Menyimpan/mengabadikan Ilmu

    Ilmu yang kita dapatkan dalam majelis lambat laun akan lenyap dikarenakan waktu, kemampuan otak manusia, usia, atau karena peristiwa lainnya. Dengan mencatat, berarti kita menyimpan ilmu tersebut relatif lebih lama (lasts longer) yang bisa dilihat, dibaca dan dipelajari lagi sewaktu-waktu.

  5. Mewariskan Ilmu

    Sepertinya halnya harta, ilmu pun bisa diwariskan. Tetapi berbeda dengan harta, ilmu adalah warisan yang tak lekang oleh waktu. Hal ini dibuktikan dengan penulisan hadist dan kitab-kitab oleh ulama-ulama terdahulu.

  6. Mengembangkan/menyebarkan Pengetahuan

    Sejarah mencatat berkat ilmu pengetahuan yang ditemukan, diteliti dan ditulis oleh ilmuwan-ilmuwan muslim, maka dunia barat yang sebelumnya mengalami masa kegelapan, akhirnya memasuki masa Renaissance (pembaharuan/kelahiran kembali peradaban) pada abad ke 14-17.

  7. Memperpanjang Umur Manfaat vs Umur Biologis

    Umur biologis manusia saat ini rata-rata 60 tahun. Selain melalui shadaqah jariyah dan anak shaleh, kita bisa memperpanjang umur manfaat kita melalui tulisan berupa ilmu yang bermanfaat, seperti yang dicontohkan oleh para Imam penulis hadist dan para ulama penulis kitab. Ilmu yang mereka tulis kemanfaatannya jauh melampaui umur biologis mereka, bahkan hingga ribuan tahun setelah mereka wafat.

Alhamdulillah, in syaa Allah banyak manfaat yang kita dapatkan dari mencatat ilmu dalam kajian. Dengan mencatat, berarti kita berikhtiar menaati perintah Allah Ta’ala, meneladani shirah Nabi dan mencontoh kisah- kisah ulama terdahulu. Semoga barakah. []

Dirangkum dari berbagai sumber. (Tulisan ini telah diedit dari kultum yang dibacakan pada halaqah Az Zahra, September 2022).

Sampaikan Kami ke Bulan Ramadhan

Bagaimana jika dikabarkan bahwa akan ada tamu istimewa yang berkunjung ke rumah kita? Tentu kita akan bersuka cita menerima kedatangannya, mempersiapkan penyambutan untuknya, memasakkan makanan-makanan lezat, memastikan rumah kita rapi dan teratur, menyiapkan anak-anak agar bersikap baik dan sopan kepadanya, memuliakannya, membuatnya betah di rumah kita, dan berbagai hal yang pada intinya memberinya sambutan kita yang terbaik. Terlebih, jika tamu istimewa tersebut membawa bingkisan berupa hadiah mahal yang kita inginkan sejak lama. Tentunya kita akan sangat mengharap kedatangannya, sekaligus akan mencemaskan bila semisal kita terhalang untuk bertemu dengannya. 

Saudariku yang dirahmati Allah SWT,

Kurang dari sebulan lagi, in syaa Allah kita akan mendapat kunjungan tamu istimewa: bulan Ramadhan 1445H, bulan istimewa yang di dalamnya Allah turunkan Al-Qur’an, petunjuk hidup kita agar selamat di dunia dan akhirat; bulan yang di dalam sepuluh hari terakhirnya memiliki malam istimewa, lailatul qadar, yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah telah wajibkan atas orang-orang sebelum kita untuk berpuasa, agar menjadi orang yang bertaqwa, mendapat ampunan dan pahala yang besar dari-Nya; bulan dimana dikabulkannya doa-doa, dibukanya pintu-pintu surga dan ditutupnya pintu-pintu neraka; bulan mulia yang penuh berkah, rahmat dan ampunan Allah SWT pada siang dan malamnya, yang semua amal ibadah akan dilipatgandakan balasannya. Sungguh, ini adalah bulan yang sangat ditunggu-tunggu oleh muslimin di segala penjuru.

Kurang dari sebulan lagi, saudariku,

Mari kita tanyakan kepada diri: apakah kita benar-benar merindukan dan menunggu-nunggunya? Sudahkah kita persiapkan diri dan keluarga kita untuk menyambutnya? Amalan terbaik apa yang akan kita lakukan untuk mengisinya? Dan, apakah Allah masih akan memberi kita umur dan kesempatan hingga bulan depan, untuk bertemu lagi dengan Ramadhan..? 

“Allaahumma ballighna Ramadhan.” Ya Allah, sampaikan kami ke bulan Ramadhan. []

HIJRAH MENUJU PERADABAN MULIA

Oleh: Ustadz Dr, Agus Setiawan, Lc., MA*)

Sungguh tepat para sahabat (ra) memilih peristiwa pindahnya Rasulullah (Saw) dari Mekkah ke Madinah (hijrah) sebagai sistem penanggalan Islam. Karena peristiwa hijrah adalah awal momentum kebangkitan ummat menuju peradaban mulia. Kalau kita kaji, maka esensi hijrah itu adalah perubahan; yakni berubah dari situasi yang tidak baik atau kurang baik, menuju situasi yang baik atau lebih baik. Yang tak kalah penting adalah: bahwa perubahan itu ditandai dengan pergerakan (action).

Sudah menjadi sunnatullah bahwa alam semestea ini memiliki pergerakan. Air yang tergenang pun akan menjadi sumber penyakit jika tidak mengalir. Begitu juga hijrah para Nabi (alaihimus salam) yang mengokohkan hukum alam, bahwa dengan pergerakan dan perubahan itu akhirnya kelestarian perjuangan dan kemenangan akan terwujud.

Merubah Yatsrib Kepada Madinah

Sebelum Nabi (Saw) hijrah, kota yang dituju itu dikenal dengan nama Yatsrib. Ketika Rasulullah (Saw) tiba di kota itu, beliau mengubah nama Yatsrib menjadi Madinah. Secara bahasa, Madinah artinya adalah kota. Tapi dari akar kata itu juga lahir kata tamaddun, yang artinya adalah peradaban.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebuah kota mestinya menjadi tempat orang-orang yang beradab. Dari mulai hati, pemikiran, akhlak dan karya-karya manusia di dalamnya, mestilah menujukan peradaban yang tinggi.

Membangun Masjid

Selain mengubah Yatsrib menjadi Madinah, maka hal lain yang Rasulullah (Saw) lakukan adalah membangun masjid. Pembangunan masjid ini merupakan pertanda bahwa peradaban Islam tidak lepas dari ruku’ dan sujud ummat Islam kepada Allah azza wa jalla. Tentu ruku’ dan sujud yang dimaksudkan di sini adalah ketaatan penuh kepada Allah Ta’ala. 

Dengan pembangunan masjid ini pula Nabi Muhammad (Saw) ingin menyampaikan pesan, bahwa mewujudkan peradaban Islam itu bagi Muslim adalah tonggak ubudiyah bentuk pengabdian dan penghambaan diri kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Dibangunnya masjid sejak awal perjalanan dalam membangun peradaban menunjukan bahwa peradaban dalam Islam tidak ditandai oleh gedung-gedung pencakar langit. Tidak pula oleh jumlah uang di pusat bisnis dan perbankan. Tetapi peradaban Islam tidak bisa terlepas dari hubungan nilai-nilai ketuhanan.

Peradaban inilah yang didambakan oleh semua manusia yang normal. Manusia menginginkan kebahagiaan (sa’adah) dan bukan sekedar kesenangan (mataa’). Nilai-nilai ketuhanan itulah yang akan membawa kesenangan kepada kebahagiaan. Tanpa nilai samawi, maka kesenangan akan hampa dan jauh dari kebahagiaan.

Kemandirian Ekonomi Ummat

Pada tahun kedua setelah hijrahnya Rasulullah (Saw), turunlah perintah berzakat. Dalam menyikapi perintah zakat ini, Rasulullah (Saw) tidak saja memahaminya sekedar perintah mengeluarkan harta. Tetapi dipahami dengan visi yang lebih besar, yaitu membangun kekuatan ekonomi bagi ummat.

Untuk merealisasikan hal tersebut, maka Nabi (Saw) melakukan beberapa hal, antara lain:

  1. Mengajak para Sahabat untuk membeli sebuah sumur.

    Perlu diketahui bahwa pada saat Nabi (Saw) hijrah, di Madinah saat itu hanya ada satu sumur. Dan sumur itu milik orang Yahudi. Sumur saat itu sangat vital dalam kemandirian masyarakat muslim. Atas anjuran Rasulullah (Saw), sumur tersebut dibeli oleh sahabat Utsman bin Affan (ra)

  2. Menguasai pasar.

    Saat itu orang-orang Yahudi memiliki kelebihan dalam bisnis dan keuangan. Maka Nabi (Saw) memotivasi para sahabat yang sekiranya memiliki modal dan kemampuan bisnis untuk menguasai pasar. Penjelasan tentang urgensi agar ummat memiliki pasar sebagai pusat penguatan perekonomian ummat ini disambut baik oleh Abdurrahman bin Auf dan lainnya.

Dengan demikian, memperingati tahun baru hijrah seharusnya menyadarkan kita akan tanggung jawab bersama (mas-uliyah jama’iyyah) untuk membangun kembali peradaban mulia yang pernah diletakan pondasi-pondasinya oleh para pendahulu kita.

Wallahu A’lam

IMG-20210418-WA0020.jpg
 

Dr. H. Agus Setiawan, Lc. MA



AGAR TIDAK MENYESAL SETELAH RAMADHAN (Bagian-2)

In syaa Allah kita lanjutkan pembahasan tentang apa dan siapa saja orang yang merugi di bulan Ramadhan, seperti yang telah diuraikan di bagian-1 sebelumnya.


Ketiga: Orang yang Tidak Menghayati Ibadah yang dijalaninya

Orang yang berpuasa hanya menahan lapar dan dahaga. Padahal semestinya ada tiga esensi puasa, yaitu: 

  1. mampu mengendalikan jiwa,

  2. mengisi waktu dengan mengingat Allah Ta’ala

  3. mengasah kepekaan dan kepedulian sosial


Karena itulah Rasulullah Saw bersabda:


‎رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ


“Betapa banyak orang yang hanya dapati dari puasa rasa lapar dan dahaga saja. Dan betapa banyak orang yang shalat malam hanya mendapatkan rasa capek saja.” (HR. Ahmad, 2:373 dan Ibnu Majah, no. 1690 dari Sahabat Abu Hurairah ra)


Keempat: Serius dan Bersungguh-Sungguh

Derajat takwa yang menjadi tujuan berpuasa tidaklah diraih begitu saja tanpa usaha dan kesungguhan. Bukan jaminan juga semua yang melalui bulan Ramadhan layak meraih predikat itu. Karenanya, Allah menggunakan ‘la’alla’ (لعلكم) yang bermakna seseorang bisa mencapai kemuliaan takwa dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.


Rasulullah Saw telah memberi teladan kepada kita. Diriwayatkan bahwa:


‎كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ. 


“Rasulullah Saw sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)


Sufyan Ats Tsauri mengatakan: “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan Ats-Tsauri pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksanakan shalat jika mereka mampu. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 331)


Kelima: Selalu Berharap Amalnya diterima oleh Allah Azza Wa Jalla

Orang yang tidak akan menyesal setelah Ramadhan adalah mereka yang tidak tertipu dengan amal mereka sendiri; namun mereka berharap dan berdoa semoga Allah Ta’ala menerimanya.

Ibnu Diinar mengatakan, “Tidak diterimanya amalan lebih aku khawatirkan daripada banyak beramal.” Adapun Abdul Aziz bin Abi Rowwad berkata, “Saya menemukan para salaf begitu semangat untuk melakukan amalan sholih. Apabila telah melakukannya, mereka merasa khawatir apakah amalan mereka diterima ataukah tidak.”


Wallahu A’lam

*) Tentang Penulis

Ustadz Dr. Agus Setiawan, Lc., MA 

IMG-20210418-WA0020.jpg
 

ORANG YANG TERHALANG

Seorang shalih dan ahli hikayat telah menceritakan bahwa pada suatu ketika ia sedang tawaf mengelilingi Ka’bah di Bait al Haram. Tiba-tiba ia bertemu dengan orang yang sedang sujud sambil mengatakan,

”Wahai Tuhanku! Apa yang akan Engkau perbuat kepada hamba-Mu yang terhalang?”


Ia tidak mempedulikan dengan apa yang diperbuat oleh orang itu. Dilanjutkannya tawaf kembali. Setelah menambah satu putaran, ternyata ia masih melihat apa yang diperbuat orang tersebut.


Ketika selesai putaran tawafnya dan lelaki itu pun sudah bangun dari sujudnya, maka ia langsung bertanya mengapa laki-laki itu berbuat demikian. Kemudian pria itu menjawab, 


“Ketahuilah, sesungguhnya aku adalah salah seorang diantara tentara muslim yang bertugas menggempur banteng pertahanan tentara Romawi. Kami pergi bersama panglima menuju Romawi dengan jumlah pasukan yang cukup banyak. Sebelum melakukan penyerangan, sang Panglima memilih sepuluh prajurit berkuda, dan aku termasuk diantaranya, untuk menjadi mata-mata. Kemudian aku bersama temanku bergegas menuju satu arena dan di sana kami melihat enam puluh tentara kafir. Sedangkan di arena yang lain, kami melihat enam ratus tentara kafir lagi. Setelah mengetahui seberapa besar kekuatan lawan, kami kembali menemui panglima untuk melaporkan hasil kerja kami. Panglima memberi perintah agar kami bersama sepuluh prajurit berkuda tadi kembali ke dua arena musuh yang telah kami mata-matai sambil berpesan, “Sesungguhnya kalian adalah orang-orang yang mendapatkan berkah. Maka dari itu, teruslah kalian memata-matai kegiatan mereka seperti yang pernah kalian lakukan!”


“Kami bersama kawan-kawan prajurit berkuda segera melaksanakan amanat dari panglima. Celakanya, di tengah perjalanan kami disergap oleh seribu tentara berkuda dari pihak Romawi. Kami dijadikan tawanan mereka dan dibawa menghadap Raja Romawi. Lalu, sang raja memerintahkan agar kami semua dijebloskan ke dalam penjara.”


“Saat terkungkung dalam penjara, kami mendengar berita bahwa sang panglima bersama kawan-kawan prajurit kami yang lain telah berhasil menumpas habis tentara kafir yang berada di dua arena yang pernah kami mata-matai. Bahkan diantara tentara kafir itu terdapat saudara sepupu Raja Romawi yang mati terbunuh. Menerima kekalahan ini Raja semakin murka, ia memerintahkan agar kami semua para tawanan dihukum mati. Di arena eksekusi itu, mata kami ditutup rapat. Lalu, ada seorang laki-laki berdiri tepat di depan sang raja mengatakan,”Sesungguhnya jika mereka dibunuh dengan mata tertutup, hal itu akan meringankan beban penderitaan mereka. Maka dari itu, perintahkan kepada algojo agar membuka tutup mata mereka masing-masing, agar satu sama lain saling bisa melihat seberapa dahsyat penderitaan yang dialami oleh temannya.”


“Sungguh di luar dugaan kami, ketika mata kami terbuka, ternyata orang yang berdiri di depan Raja Romawi dengan mengenakan jubah sutra bersulam benang emas itu adalah teman prajurit kami sesama muslim yang telah murtad dan membelot, bergabung bersama tentara kafir. Melihat kenyataan ini kami tak mampu berkata sepatah kata pun. Kemudian kami menengadah ke langit dan pada saat itu kami melihat sepuluh orang bidadari, masing-masing dari mereka membawa sebuah nampan dan sapu tangan. Sedangkan di atas mereka terdapat sepuluh pintu surga yang terbuka di langit.”


Selanjutnya sang algojo membantai teman-teman kami satu per-satu. Ketika salah seorang dari teman kami dibunuh, maka pada saat itulah seorang bidadari turun mengambil ruhnya dan membungkus ruh itu di dalam sapu tangan. Lalu, bidadari itu meletakkannya diatas nampan untuk kemudian naik ke atas langit melewati salah satu pintu surga tersebut dan begitulah seterusnya. Sembilan kawan kami sudah menemui ajalnya, begitu pula sembilan bidadari telah pergi dengan membawa ruh teman-teman kami. Tiba giliran algojo meletakkan pedangnya di leherku dan bidadari yang terakhir pun telah bersiap-siap untuk membawa ruhku, mendadak si murtad berkata kepada Raja Romawi, “Wahai sang Raja, jika semua tawanan dibunuh, lalu siapakah yang akan membawa berita duka ini kepada tentara-tentara muslim? Maka sisakanlah satu orang ini untuk membawa berita duka.” 


“Dengan demikian aku selamat dari pembantaian, maka bidadariku pun pergi meninggalkanku sambil berkata,”Terhalang… Terhalang!”


Kisah inilah yang memaksaku untuk bersujud di dekat bait al haram untuk berdoa: ”Wahai Tuhanku! Apakah yang akan Engkau perbuat kepada orang yang terhalang?’ Dan aku sudah mendapatkan jawaban dari Tuhan Yang Maha Pemurah sebagai berikut: “Janganlah berputus asa, karena sesungguhnya anugerah Allah ta’ala itu sangatlah besar”.[]


Dari buku “Kisah-kisah Langka dari Masa Lampau”

Ahmad Syihabuddin bin Salamah Al-Qalyubi



Oleh:

*)Tentang Penulis

Mencari hikmah di setiap langkah. Ibu tiga putri yang membagi waktu dengan menjalankan amanah sebagai koordinator Sisterhood iQro 2019 – 2022.