Pentingnya Mencatat dalam Majelis Ilmu

Oleh: Meilina Widyawati

Sering kita mendengar kalimat “Ikatlah ilmu dengan menulisnya”. Kalimat mulia ini adalah sabda Rasulullah Muhammad (SAW). Dari ‘Abdullah bin ‘Amr (RA) dan Anas bin Malik (RA), Rasulullah (SAW) bersabda:

“Ikatlah ilmu dengan dengan menulisnya” (dalam redaksi yang lain: “jagalah ilmu dengan menulisnya”). Qayyidul ‘ilma berarti kuatkan, hafalkan dan jaga jangan sampai lepas.

Hadist ini penting untuk kita amalkan dalam majelis ilmu, sebab di antara adab majelis imu adalah mencatat ilmu yang didapat. Mengapa mencatat penting dan bermanfat?

Pentingnya Mencatat dalam Islam: 1. Perintah Allah dalam Al-Qur’an:

QS Al-Alaq: 4

ٱَّلِذىعََّلمَ ِبَٱْلقَلِمَ

Artinya: “Yang telah mengajarkan dengan pena.”

Selain perintah agar kita “membaca” tanda-tanda kebesaran-Nya, Allah juga mengajarkan manusia menulis dengan perantaraan pena atau alat tulis lain. Dengan dijadikan dua hal ini sebagai perintah dalam ayat-ayat pertama yang diturunkan, Islam menekankan pentingnya aktivitas membaca dan menulis bagi muslimin.

QS Al Baqarah: 282

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”

Allah SWT Maha Mengetahui bahwa manusia punya keterbatasan akal dan pikiran untuk mengingat, sehingga Allah SWT memerintahkan agar kita mencatat. Bisa kita bayangkan seandainya 2 orang yang berhutang-piutang menjadi berselisih hanya karena masing-masing punya daya ingat yang berbeda tentang transaksi mereka, atau malah mungkin lupa dengan hutangnya piutangnya. Dengan adanya catatan yang diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak, in syaa Allah perselisihan bisa dicegah.

2. Hadist Rasul

Dari Abu Hurairah (RA) berkata: Rasulullah (SAW) bersabda: "Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya." (HR Muslim). Ilmu yang bermanfaat di sini bisa berarti ilmu yang diajarkan, baik itu melalui lisan ataupun tulisan.

3. Ajaran Rasul dalam Pengumpulan dan Penulisan Al-Qur’an

Dari Shirah Nabawi kita belajar tentang sejarah pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi; baik itu pengumpulan dalam konteks hafalan (hafadzahu) ataupun dalam konteks penulisan (kitabuhu kullihi). Ketika wahyu turun, Rasulullah (SAW) memerintahkan para sahabatnya untuk menghapal dan menuliskan. Penulisan Al-Qur’an masa itu masih tersebar di antara para sahabat, dan urutannya tidak sesuai nuzulnya. Setiap ayat dituliskan di tempat penulisan yang sesuai dengan instruksi Nabi (SAW) atas petunjuk Allah SWT.

  1. Teladan Khulafaur Rasyidin dalam pengumpulan, penulisan dan pembukuan Al-Qur’an

    Dikarenakan gugurnya 70 orang penghafal Qur’an dalam perang Yamamah untuk memerangi orang-orang Islam yang murtad, Umar (RA) mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar (RA) untuk mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an karena khawatir musnah. Setelah melalui proses yang cukup panjang dan atas ijin Allah Ta’ala, akhirnya terwujudlah mushaf Al-Qur’an beserta salinannya pada masa khalifah Ustman (RA).

  2. Kisah Pengumpulan dan Pencatatan Hadist

    Melalui kitab-kitab hadist yang ditulis oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Da’ud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad An-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah, generasi-generai setelah tabi’un tabi’in mengetahui dan mempelajari bagaimana Rasulullah (SAW) mengajarkan Islam melalui perkataan dan perbuatan beliau; padahal para penulis hadist tersebut hidup di masa ratusan tahun setelah hijrah (contoh: Imam Bukhari lahir pada tahun 194 H, Imam Ibnu Majah lahir pada tahun 209 H).

    Untuk menuliskan sebuah hadist, para penulis tersebut melakukan perjalanan dengan mendatangi para perawinya, termasuk ke wilayah/negara lain. Mereka mendedikasikan hidupnya untuk mengumpulkan dan mencatat hadist, hingga terkumpul sebanyak ribuan bahkan puluhan ribu. Tanpa ikhtiar mereka untuk melakukan perjalanan, menemui para perawi, mengumpulkan, menyeleksi kesahihannya, dan kemudian menuliskan, mungkin kita tidak berkesempatan mendapatkan ajaran Rasulullah (SAW) seperti saat ini.

  3. Kisah Ulama-Ulama Penulis Kitab

    Dari kisah-kisah ulama terdahulu seperti Imam Syafi’i, Ibnu Jarir At Thabari, Imam Nawawi dan lain-lainnya, kita mengetahui bagaimana mereka sibuk menulis kitab di sepanjang hayat mereka.

    • Imam Syafi'i (wafat pada tahun 204 H) membagi waktunya setiap malam menjadi tiga bagian: sepertiga yang pertama menulis buku, sepertiga yang kedua untuk shalat tahajjud, dan sepertiga yang ketiga untuk beristirahat.

    • Ibnu Jarir At Thabari (wafat pada usia 86 tahun, pada tahun 310 H) mewariskan karya ilmiahnya dalam berbagai disiplin ilmu keislaman: tafsir, tarikh, fikih dan lainnya sebanyak kurang lebih 351,000 halaman.

    • Imam Nawawi (wafat pada tahun 676 H), yang mewariskan karya-karya ilmiah yang sangat penting dalam setiap disiplin ilmu ke-Islam-an, mengisahkan ikhtiarnya dalam menulis karya-karya itu: "Aku makan hanya sekali sehari, setelah shalat Isya. Minum sekali di waktu sahur". Muridnya bertanya tentang jadwal tidurnya, beliau menjawab, "Aku tidur bila mata sudah tidak dapat ditahan, aku menyandarkan kepala ke tumpukan buku-buku, beberapa saat kemudian terjaga dan meneruskan tulisan" (Ibnu Syuhbah, Tabaqatussyafiiyyin). Beliau bahkan belum sempat menikah hingga wafat, karena mendedikasikan waktunya untuk menulis kitab.

Manfaat dari mencatat:

  1. Mendapatkan Kemudahan, Keberkahan dan Keutamaan

    Dari Abu Darda, Rasulullah (SAW) bersabda, "Siapa yang berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Orang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi sampai ikan di air. Keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Para ulama itu pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham. Yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Siapa yang mengambil ilmu itu, maka telah mendapatkan bagian yang paling banyak."

    Aktivitas menyimak dan mencatat adalah termasuk adab dari menuntut ilmu. Mengajarkan kebaikan dapat dilakukan dengan lisan ataupun tulisan.

  2. Mencegah Lupa

    Dengan mencatat ilmu dalam majelis, kita berusaha merangkum apa yang didengar sehingga terhindar dari lupa, sebab daya ingat manusia lemah dan terbatas.

  3. Mengikat/menjaga ilmu

    Aktivitas mencatat membuat kita menjadi lebih fokus dalam majelis ilmu; tak mudah ter-distracted dengan hal-hal lain (misal HP) dan membuat ingatan lebih kokoh. Ingatan yang kokoh terhadap ilmu akan menjadi dasar amalan, ataupun menjadi bahan pengajaran, sehingga kita mendapat keberkahan dari ilmu tersebut di dunia dan akhirat, in syaa Allah.

  4. Menyimpan/mengabadikan Ilmu

    Ilmu yang kita dapatkan dalam majelis lambat laun akan lenyap dikarenakan waktu, kemampuan otak manusia, usia, atau karena peristiwa lainnya. Dengan mencatat, berarti kita menyimpan ilmu tersebut relatif lebih lama (lasts longer) yang bisa dilihat, dibaca dan dipelajari lagi sewaktu-waktu.

  5. Mewariskan Ilmu

    Sepertinya halnya harta, ilmu pun bisa diwariskan. Tetapi berbeda dengan harta, ilmu adalah warisan yang tak lekang oleh waktu. Hal ini dibuktikan dengan penulisan hadist dan kitab-kitab oleh ulama-ulama terdahulu.

  6. Mengembangkan/menyebarkan Pengetahuan

    Sejarah mencatat berkat ilmu pengetahuan yang ditemukan, diteliti dan ditulis oleh ilmuwan-ilmuwan muslim, maka dunia barat yang sebelumnya mengalami masa kegelapan, akhirnya memasuki masa Renaissance (pembaharuan/kelahiran kembali peradaban) pada abad ke 14-17.

  7. Memperpanjang Umur Manfaat vs Umur Biologis

    Umur biologis manusia saat ini rata-rata 60 tahun. Selain melalui shadaqah jariyah dan anak shaleh, kita bisa memperpanjang umur manfaat kita melalui tulisan berupa ilmu yang bermanfaat, seperti yang dicontohkan oleh para Imam penulis hadist dan para ulama penulis kitab. Ilmu yang mereka tulis kemanfaatannya jauh melampaui umur biologis mereka, bahkan hingga ribuan tahun setelah mereka wafat.

Alhamdulillah, in syaa Allah banyak manfaat yang kita dapatkan dari mencatat ilmu dalam kajian. Dengan mencatat, berarti kita berikhtiar menaati perintah Allah Ta’ala, meneladani shirah Nabi dan mencontoh kisah- kisah ulama terdahulu. Semoga barakah. []

Dirangkum dari berbagai sumber. (Tulisan ini telah diedit dari kultum yang dibacakan pada halaqah Az Zahra, September 2022).